(sumber foto: freepik.com)

Hari ini, 21 April 2021, selain dihadapkan dengan bulan suci Ramadhan, masyarakat Indonesia sedang memperingati hari Kartini. Momentum ini menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk kita bisa mengenang kembali tentang perjuangan dan spirit dari sosok Raden Ajeng Kartini. Banyak hal baik yang dapat kita pelajari dari seorang Kartini, termasuk salah satunya adalah tentang bagaimana beliau memperjuangkan haknya untuk bisa terus belajar dan meningkatkan wawasan/pengetahuan. Meskipun Kartini tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan tinggi dan di usianya yang masih sangat muda justru dipingit, tetapi ia terus gigih dan berusaha untuk memperjuangkan haknya mendapatkan pendidikan. Beliau kemudian banyak belajar dan membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa (beruntungnya Kartini karena ayahnya yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat merupakan seorang Bupati Jepara) (sumber: https:https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini), yang akhirnya banyak mempengaruhi pikiran-pikiran kritisnya yang dituangkannya ke dalam tulisan surat untuk teman-temannya. Hal itu lah yang akhirnya membuat jiwa sosialnya muncul dan mendirikan sekolah rakyat karena beliau ingin melihat orang-orang di sekitarnya mendapatkan pendidikan.

            Ada salah satu isi tulisan Kartini yang pernah beliau tulis yaitu:

“Kami berikhtiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna lagi” – surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon, 12 Desember 1902.

            Tulisan Kartini di atas menurut saya sangat relevan dengan posisi kita sebagai sahabat ZCD yang berperan sebagai pemberdaya yang memberdayakan kelompok mustahik melalui kegiatan pemberdayaan. Karena kita berangkat dari nilai dan konsep pemberdayaan, jadi penting bagi kita untuk terus belajar dan memahami dari nilai tersebut. Sebelum berbicara lebih jauh atau lebih dalam mengenai pemberdayaan, alangkah baiknya kita mencoba melihat lagi dari dasar pemberdayaan. Jika membaca di KBBI mengenai daya, berdaya, dan memberdayakan, sebagai berikut:

da.ya

·      n kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak: bangsa yang tidak bersatu tidak akan mempunyai -- untuk menghadapi agresi dari luar

·      n kekuatan; tenaga (yang menyebabkan sesuatu bergerak dan sebagainya)

·      n muslihat: ia melakukan segala tipu -- untuk mencapai maksudnya

·      n akal; ikhtiar; upaya: ia berusaha dengan segala -- yang ada padanya

·      n Olr kemampuan untuk menghasilkan kekuatan maksimal dalam waktu yang minimal

ber.da.ya

·      v berkekuatan; berkemampuan; bertenaga

·      v mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu

mem.ber.da.ya.kan

      v membuat berdaya

(sumber: https://kbbi.kemdikbud.go.id)

 

            Membaca dan memahami makna dasar dari KKBI di atas, kita menjadi lebih paham tentang alur sederhana dari proses pemberdayaan yaitu daya – berdaya – memberdayakan. Jika kita memiliki tugas atau memiliki keinginan untuk memberdayakan orang berarti kita sebagai pemberdaya juga harus sudah berdaya. Bagaimana kita bisa memberdayakan jika kita tidak berdaya. Bagaimana kita menguatkan orang lain jika kita tidak bisa menguatkan diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa menolong orang lain jika kita tidak bisa menolong kita sendiri.

            Membicarakan tentang “berdaya dan memberdayakan” saya teringat dengan pengalaman di masa lalu tepatnya tahun 2014 tentang obrolan saya dengan seorang teman, Mbak Nunung, yang juga saat itu adalah seorang kurator dari kegiatan kesenian yang saya ikuti. Merespon mimpi saya untuk bisa menjalankan bisnis yang telah saya rintis dan memberdayakan masyarakat, dia bertanya “Jika kamu ingin meberdayakan orang lain, apakah kamu yakin bahwa dirimu sendiri sudah berdaya?”. Pertanyaan itu bagi saya sangat menohok sekaligus juga menjadikan saya motivasi dan instropeksi diri, apakah benar bahwa saya ini sudah berdaya, apakah benar saya ini sudah mampu?? Saya mengajak diri saya untuk melihat diri saya sendiri, mengukur kemampuan diri, hingga akhirnya memotivasi saya untuk lebih banyak belajar lagi, mengikuti pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kompetensi dan juga menambah pengalaman saya dalam bermasyarakat.

            Kembali ke “berdaya untuk memberdayakan”, hal ini menurut saya bisa menjadi sebuah refleksi diri atas aktivitas yang kita lakukan. Sudah sejauh mana keberadaan kita benar-benar bermanfaat untuk masyarakat. Menjadi sebuah motivasi diri untuk kita bisa menjadi self support system atau menjadi support sistem untuk diri kita sendiri. Dalam kondisi apapun yang kita hadapi, kita menjadi termotivasi untuk terus “on” ketika sudah berhadapan dengan mustahik. Karena apakah mungkin kita loyo ketika menghadapi mustahik, padahal di situ kita sedang bertugas untuk memberikan support, semangat, memberikan penguatan kepada mustahik.

            Dari pengalaman yang saya dapatkan, self support system ini tidak hanya berlaku untuk kegiatan kita dalam kegiatan-kegiatan ZCD ataupun kegiatan ke luar (berhadapan dengan masyarakat), tetapi juga dapat diterapkan kepada lingkungan terdekat (keluarga). Saya merasakan sekali ketika dalam proses transisi sebelum memiliki anak dan sudah memiliki anak – menjadi ibu. Saat semangat sedang kendor ataupun benar-benar loyo kemudian saya jadi mikir, ohiya sekarang sudah punya anak. Kalau saya kendor atau loyo begini, bagaimana saya bisa mendampingi anak ataupun mengajarkan semangat dan pendidikan kepada anak. Jadi, seperti otomatis saya diingatkan, dan mau tidak mau pasti harus bisa bangun lagi, semangat lagi, harus sehat terus, nggak boleh sakit lagi.

            Nah, untuk menjaga diri kita agar terus on dan terus berdaya, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan antara lain:

1.Berkarya

      Berkarya ini luas ya sifatnya, bisa berkarya apapun sesuai dengan bidang yang dikuasai. Entah itu menulis, menanam, memasak, menghias rumah, dll. Jika di agama Islam kita diajarkan tentang amalan manusia yang tidak dapat terhapus yaitu ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakan orangtua, dan amal jariyah. Maka dalam sejarah ada seorang yang mengatakan: manusia bisa mati, tapi karya kita akan tetap abadi.

2.Membaca buku

Pilih buku-buku yang positif yang dapat membuat kita semakin semangat dan berpikir positif

3.Mengikuti pelatihan-pelatihan baik online maupun offline, yang dapat meningkatkan kompetensi diri kita.

4.Update informasi : melalui televisi, radio, maupun media sosial (missal: instagram, follow akun-akun resmi milik lembaga2 pemerintah maupun swasta yang akurat). Tetapi tetap perlu melakukan kroscek tentang informasi yang kita dapatkan, pastikan bukan hoax.

5.Bersilaturrahim dengan mustahik ataupun dengan teman, saudara.

6.Mendengarkan musik

7.Puasa gadget

Kurangi main gadget dan maksimalkan berinteraksi secara langsung dengan keluarga maupun mustahik. Selain mengurangi candu gadget juga dapat meningkatkan kualitas interaksi sosial kita dengan orang lain.

8.Bereksplorasi hal-hal baru

Hal ini sangat diperlukan untuk memberikan ruang kebebasan untuk pikiran kita, diri kita tanpa tekanan dan aturan dari luar diri.

 

                 Itulah beberapa hal yang ingin saya bagikan kepada sahabat ZCD semua yang semoga bisa memberikan sedikit pencerahan ataupun bahan diskusi kita bersama. Semoga bermanfaat. Di akhir tulisan ini saya ingin mengucapkan Selamat Hari Kartini untuk kita semua. Semoga spirit Kartini dapat menjadi motivasi kita untuk bisa terus berkarya, berdaya dan bermanfaat sehingga kita bisa memberdayakan mustahik yang kita dampingi dengan maksimal. Aamiin.

 

Blitar,

Dwi Ajeng Vye

 

 

**Tulisan ini dibuat untuk mengisi kegiatan Kultum Ramadhan Sahabat ZCD BAZNAS (https://zcd.baznas.go.id/), Rabu-21 21 April 2021

0 Komentar