Setelah lulus kuliah dan akhirnya diwisuda, beberapa teman sering bertanya pada saya tentang bagaimana rasanya setelah lulus? Dan saya hanya menjawab "rasanya lebih lega dan lebih ringan". Saya tidak mengerti apakah setelah lulus dan wisuda selalu harus merasa "lebih berat"? Saya kira semua tergantung situasi dan kondisi kita. Mungkin karena saat sebelum dan setelah wisuda, saya masih ribet dengan aktivitas atau kegiatan lain di luar kampus sehingga rasanya justru lulus kuliah dan wisuda membuat saya "lebih ringan". Tidak hanya ringan atas beban mental terhadap orangtua karena tak kunjung lulus dan wisuda, tetapi juga beban pikir yang selanjutnya ruang pikir untuk pendidikan formal menjadi bisa saya ganti dengan "isian" yang lain. Ya, saya kira semua juga demikian, saling berganti dan terus berganti. Ada yang selesai pasti ada yang mulai, ada yang pergi pasti ada yang datang, ada yang kosong pasti ada yang akan diisi, dan seterusnya. Berbeda halnya jika selama kuliah saya hanya menjadi mahasiswa kupu-kupu aka kuliah-pulang dan tidak memiliki kegiatan apapun di luar kampus, mungkin pascalulus kuliah dan wisuda akan membuat saya semakin "lebih berat". Berat karena saya tidak terbiasa bergerak, tidak biasa beraktivitas fisik dan pikir dari pagi sampai malam, dan tidak ada kesibukan yang lain sehingga tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana.
Empat bulan pasca saya wisuda (wisuda: bulan November 2014), saya pun akhirnya kini (hari ini) menemukan semacam "titik" tantangan. Setelah saya timbang-timbang dan pikir-pikir, ternyata yang menjadi beban mental atau di sini saya menyebutnya “tantangan” itu tidak hanya pada "saya mau bekerja apa dan bekerja di mana?", tetapi justru lebih sangat mendasar: "bekerja itu apa sih? Yang disebut bekerja itu yang bagaimana sih?" Nah lho! Mungkin selama ini kita sering menyebut kata "bekerja dan pekerjaan" tapi sebenarnya kata-kata itu juga masih ambigu. Ambigu, bukan karena kata-kata itu yang salah, melainkan karena pengartian dan pengertian bagi masing-masing orang adalah berbeda-beda sehingga pemahamannya juga berbeda.
Mengapa saya bisa menganggap titik ini sebagai tantangan? Karena empat bulan terakhir ini ya memang itulah yang nyata saya hadapi dan sering lalu saya tanyakan balik ketika ada orang atau teman yang bertanya pada saya tentang apa dan di mana saya bekerja saat ini. Saat saya ditanya terkadang bukan menjawab dengan pernyataan tetapi malah menjawab dengan pertanyaan. Dan ya...akhirnya kami justru menjadi berdiskusi tetapi sampai hari ini pun saya belum menemukan jawaban yang memuaskan pertanyaan saya. Apalagi ketika saya memilih melanjutkan untuk menjalankan usaha crafting, itu bagi saya adalah juga termasuk bekerja tetapi bedanya adalah bekerja di tempat milik sendiri dan gajinya tidak pasti. Obrolan itu biasanya seperti ini. “Sudah bekerja?” “Sudah”, “Di mana?” “Di tempat saya sendiri”, “????” “Saya berjualan craft” “Ooooohh..”. Oke, mungkin itu adalah jawaban yang sedikit menjelaskan. Mungkin jelas bagi yang paham, tetapi masih belum jelas lagi bagi yang masih akan terus bertanya karena mungkin bidang pertanyaannya berbeda atau justru lanjutannya. Akan bertanya lagi, tetapi mungkin pertanyaannyaakan semakin berkembang. Terlebih pertanyaan dari keluarga, yang mungkin tidak atau kurang mendukung karena mungkin kurang paham. Sebenarnya bisa dikatakan mendukung, tetapi pastinya akan selalu muncul pertanyaan atas kepastian dan ketidakpastian dalam pekerjaan itu khususnya dalah hal finansial. Hmm, yayaya, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan, sepertinya memang semestinya menyamakan persepsi dulu tentang maksud kata “bekerja dan pekerjaan” itu sendiri, termasuk tujuan bekerja itu sendiri, atau malah sekalian tujuan hidup. Hahaha, semakin berat saja bahasannya.


Yogyakarta,
Dwi Ajeng Vye

0 Komentar