Berkesenian: Refleksi Diri yang Hidup
Manusia
yang berkesenian bisa menjadi tanda bahwa manusia itu hidup. Sebab, dengan
berkesenian maka saat itu pula pikir, rasa dan laku manusia itu sedang dihidupkan
melalui kesenian dan seninya masing-masing. Wujud pikir, rasa dan laku yang
dihidupkan tersebut pun memiliki makna dan merupakan bagian dari refleksi diri manusia
yang hidup. Seperti halnya Dwi Ajeng Fitriani atau Dwi Ajeng Vye yang mencoba
memaknai setiap perjalanannya dalam berkesenian sebagai refleksi dirinya. Dalam
perjalanan berkeseniannya, perempuan yang lahir di Blitar, 15 April 1991 ini mulai
mengenal seni saat duduk di Taman Kanak-kanak
(TK). Kesenian pertama yang ia kenali adalah seni musik berupa instrumen
rebana. Pada saat itu rebana dikenalinya sebagai persiapan mengikuti lomba qosidah tingkat TK berkolaborasi dengan
siswa-siswi TK antar-dusun di desanya. Pada saat latihan sendiri di rumah, ia
diminta oleh orangtuanya untuk menggunakan panci sebagai pengganti rebana
karena saat itu rebana tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Meskipun panci
adalah alat untuk memasak tetapi ternyata bisa juga digunakan sebagai instrumen
musik. Dari pengalaman itulah ia menemukan kegiatan yang unik dan kreatif.
Beranjak
ke SMP, tahun 2003, ia mulai mengenal instrumen musik lain yaitu gitar. Oleh
karena ujian praktik seni musik di kelas III mewajibkan siswa bisa memainkan
satu alat musik, maka sejak awal kelas I ia mulai belajar bermain gitar.
Meskipun belum sepenuhnya menguasai instrumen tersebut, itulah pertama kalinya
ia mengenal aktivitas ngeband bersama
teman-temannya. Pada saat itu ia belum tertarik untuk menekuni seni musik, sehingga aktivitas ngeband pun tidak ia lanjutkan. Pada saat
yang sama, di SMP ia mulai mengenal seni rupa khususnya seni kriya yaitu kerajinan
tangan. Seni kriya tersebut ia gemari hingga SMA, dan di SMA pula ia mulai
belajar menjahit.
Tahun
2009, saat memasuki kuliah di Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra Nusantara, ia
masih melanjutkan kegemarannya terhadap seni kriya. Di samping itu, saat itu
pula ia kembali masuk ke bidang seni musik yaitu karawitan. Lima tahun
berproses dan belajar bersama dua kelompok seni yaitu Unit Kesenian Jawa Gaya
Surakarta (UKJGS) UGM dan Gamelan Jurusan Sastra Nusantara (GAMASUTRA) Fakultas
Ilmu Budaya UGM, ia mulai menyadari bahwa karawitan tidak hanya sebuah jenis
musik. Lebih dari itu, baginya karawitan merupakan alat terapi untuk dirinya.
Melalui permainan instrumen gamelan, ia belajar mengolah dan menyalurkan segala
emosi dirinya baik emosi positif maupun negatif. Terlebih saat di UKJGS UGM ia
diposisikan di instrumen Slenthem dan
di GAMASUTRA FIB UGM diposisikan di
instrumen balungan yaitu Demung, ia mencoba memahami filosofi
dari dua instrumen tersebut.
Baginya,
dua instrumen tersebut bertolak belakang. Dari
Slenthem, ia belajar tentang kesabaran, seperti suara wilahannya saat ditabuh, baik nada lirih
atau keras suaranya hampir selalu sama dan menggaung. Sedangkan dari Demung, ia belajar tentang kepemimpinan,
ketegasan dan empan papan ‘bisa
menempatkan diri’. Menurutnya, Demung adalah
instrumen balungan yang paling besar
dan ia menjadi patokan untuk instrumen balungan
lainnya. Oleh karena itu, penabuh Demung
harus bisa ngemong atau memimpin
instrumen balungan lainnya. Apalagi
baik nada lirih atau keras, cara menabuh instrumen Demung juga berbeda. Semakin lirih maka menabuhnya harus lebih
lembut, sedangkan semakin keras nadanya maka menabuhnya harus semakin keras. Di
situlah empan papan dibutuhkan.
Seperti halnya manusia yang dalam hidupnya juga butuh empan papan; kapan ia akan berjalan lurus dan kapan ia akan
membelok.
Dari
pemahaman tersebutlah ia mulai tak percaya tentang kebetulan. Baginya, ada
makna di setiap pertanda. Seperti halnya dalam proses perjalanan
berkeseniannya, ia yakin bahwa Tuhan memiliki satu atau banyak alasan sehingga
ia bisa diposisikan di instrumen Slenthem
dan Demung. Begitu juga
pertemuannya dengan orang-orang yang ia temui dan kenal dalam perjalanan
berkeseniannya pasti memiliki makna meski saat itu pula ia belum menemukan
maksudnya. “Tuhan akan menjawab dalam perjalanan waktu”, katanya. Dari filosofi
itu pula, ia meyakini bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan “peran dan
tugas”nya masing-masing, sehingga diharapkan mereka bisa saling melengkapi satu
sama lain. Ketika manusia satu dan lainnya sadar atas peran dan tugasnya, maka
bisa terbentuk kehidupan yang harmonis.
Pemahaman tersebut pula yang
menjadikan perempuan yang biasa dipanggil Ajeng ini untuk terus mencari dan
menemukan “peran dan tugas”nya. Seperti perjalanan berkeseniannya yang
berbolak-balik dan bersamaan antara seni musik dan seni kriya, ia terus mencoba
menemukan “titik” atas pilihannya. Titik tersebut mulai ia temukan setelah ia
melewati berbagai proses baik di bidang kesenian maupun non-kesenian. Saat
kuliah, ia mengikuti tiga kali proses dalam kegiatan Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) di kampusnya bersama teman-temannya. PKM merupakan wadah untuk
menuangkan ide atau gagasan kreatif mahasiswa yang diwujudkan dalam berbagai
wujud bidang antara lain: pengabdian kepada masyarakat, penelitian,
kewirausahaan, teknologi, dan gagasan tertulis. Tiga tahun berturut-turut Ajeng
bersama timnya mengikuti PKM yaitu satu kali PKM bidang Penelitian selenggaraan
DIKTI dan dua kali PKM bidang Pengabdian kepada Masyarakat selenggaraan DIKTI
dan FIB UGM. Dalam PKM tersebut, ia bersama timnya turun langsung ke sekolah
dan desa untuk mengadakan kegiatan bersama masyarakat. Dari situlah ia mulai
menyadari tentang pentingnya berbagi dengan mengabdikan seluruh kemampuan
akademik dan non akademiknya untuk orang lain.
Kesadaran tersebut semakin
meyakinkannya saat ia bergabung dengan Komunitas Suling Bambu Nusantara (KSBN).
Selain belajar instrumen musik suling bambu, ia juga belajar tentang nilai budi
pekerti. Nilai budi pekerti yang dimaksud salah satunya tentang pentingnya
menghargai orang lain dan sejarah. Sebab, menurutnya seseorang tak bisa tumbuh
tanpa ada orang lain. Meski seseorang sudah bertumbuh dan berkembang, orang
lain di lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang tetap telah berperan dan
berkontribusi dalam menumbuhkan dan mengembangkan dirinya. Dari situlah sejarah
muncul. Jika sejarah dilupakan begitu saja, maka itulah yang menjadi salah satu
perusak moral bangsa. Ia menambahkan, bahwa menghargai tak hanya pada sejarah
serta pikir, rasa dan laku orang lain, tetapi juga pada perbedaan agama, suku,
ras, profesi, umur, gender, dan proses. Bagaimana ia dan masyarakat lainnya
bisa terus “berjalan bersama” meski mereka berbeda. Termasuk dalam hal
kesenian, bagaimana orang dengan basis seni dan non-seni bisa belajar dan berkarya
dengan kesempatan yang sama sehingga seni dan kesenian tak nampak eksklusif.
Demikian pula saat ia melakukan
Kuliah Kerja Nyata bersama teman-teman kampusnya di Desa Jerowaru Kecamatan
Jerowaru Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat, tahun 2012, yang salah
satu kegiatannya adalah mengajari suling bambu kepada anak-anak di SDN 5 Jor,
Desa Jerowaru. Dari kegiatan itu, ia belajar bagaimana berempati. Banyak
anak-anak SD di sana
yang pintar dan memiliki semangat tinggi untuk bersekolah tetapi mereka terbatasi
oleh fasilitas sekolah yang belum lengkap serta kemampuan finansial keluarga
yang kurang. Bahkan di usia mereka yang dini dan masih butuh waktu untuk bermain
bersama teman-teman, tetapi mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pengalaman-pengalaman
itulah yang semakin meyakinkan Ajeng untuk memilih salah satu “titik” yaitu
bidang pemberdayaan masyarakat. Baginya, semua orang bisa berdaya dengan
kemampuan yang dimilikinya. Untuk bisa menjadi berdaya, semua orang perlu untuk
diberi kesempatan dan dorongan positif untuk memberdayakan dirinya
masing-masing. Untuk lebih meyakinkan pilihannya tersebut, ia pun mencoba
memulai mengadakan kegiatan pemberdayaan masyarakat, salah satunya #WomanCreartiveDay yaitu kegiatan belajar
berkarya kerajinan tangan dan menjahit dengan tangan. Dalam kegiatan itu, ia mengajak
perempuan untuk memberdayakan dirinya masing-masing melalui seni kriya.
Menurutnya, dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat ia merasa lebih nyaman dengan
bidangnya di seni kriya. Bagi Ajeng, kegiatan #WomanCreartiveDay merupakan salah satu media untuk berbagi
pengalaman dan ketrampilan yang dimilikinya kepada orang lain. Bukan hanya pada
sisi fisik, melainkan juga ada banyak hal yang ia coba sampaikan melalui
pengkaryaan kerajinan tangan dan menjahit dengan tangan. Berkarya kerajinan
tangan seperti menuangkan refleksi dirinya yang hidup. Hal itu pula yang
menjadikan Ajeng untuk memilih seni kriya untuk ditekuninya.
Sambil
terus menekuni bidang seni kriya, ia juga akan terus mendalami dan mempelajari
bidang tersebut. Sebab, menurutnya untuk bisa memberdayakan orang lain maka ia
juga harus memiliki bekal salah satunya dengan cara memberdayakan dirinya
dengan terus belajar dan mendalami bidangnya. Sambil terus belajar, ia akan
melanjutkan kegiatan yang sudah digagasnya yaitu #WomanCreartiveDay. Ia juga akan melanjutkan bidangnya tersebut
sebagai industri untuk berwirausaha yang sudah dimulainya sejak tahun 2010.
Menjadi entrepreneur merupakan
mimpinya sejak kecil, sebab menurutnya berwirausaha adalah langkah awal dan nyata manusia untuk menjadi mandiri. Terlebih
ketika seseorang memiliki kemampuan di bidang seni maupun non-seni, menurutnya kemampuannya
itu akan menjadi lebih hidup jika bisa dimanfaatkan dan dikelola dengan baik,
salah satunya dengan berwirausaha. Belajar, berbagi dan berwirausaha, ketiganya
kini menjadi tujuan Ajeng karena menurutnya hal itu menjadi langkah untuk
mengimbangi antara seni untuk dirinya sendiri, seni untuk industri dan seni
untuk masyarakat. Meskipun demikian, seni musik yang telah ia miliki tidak akan
ia tinggalkan begitu saja. Seni musik yang ia miliki akan tetap ia jadikan
sebagai alat terapi minimal untuk dirinya sendiri dan juga sebagai media
pendukung untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, ia berharap
segala pengalaman musik yang pernah ia dapatkan bisa terus bermanfaat bagi
orang lain. Semakin bermanfaat semakin tumbuh dan berkembanglah seni, kesenian dan
tentunya diri sendiri.
Berangkat
dari pengalaman bidang seni musik dan seni kriya yang dimilikinya, Ajeng semakin
memahami lebih tentang karya seni. Baginya, karya seni mampu menggambarkan sisi
diri pembuat karya atau senimannya. Tak hanya itu, ia memahami bahwa berkarya merupakan
salah satu cara untuk mengekspresikan, mengeksplorasi dan menuangkan gagasan pikir,
rasa dan laku yang dimiliki oleh seniman. Sebuah karya seni juga bisa menjadi
alat komunikasi antara pembuat karya dan penikmat karya. Melalui karya seninya,
seniman memasukkan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada para penikmat
karya seni. Itu lah sisi positif dari seni. Semua orang memiliki cara
masing-masing untuk mengungkapkan, menyampaikan dan menunjukkan pesannya.
Melalui seni pesan-pesan tersebut disampaikan oleh seniman dengan kemasan yang
kreatif dan apik meskipun isi pesan
mungkin sama atau mengangkat hal-hal yang sederhana di sekitar kita yang
bersumber dari masyarakat. Oleh karena itu masyarakat berperan dalam
pertumbuhan kreativitas seniman.
Bagi
Ajeng, pertumbuhan seni, kesenian dan diri seniman tak lepas dari peran
masyarakat di sekitarnya. Baik masyarakat seni maupun non-seni, keduanya
merupakan kolaborasi apik yang saling
mendukung. Menurutnya, masyarakat adalah sumber inspirasi dan motivasi.
Pertemuan dan interaksinya dengan masyarakat memberikan energi positif untuk
seniman khususnya dirinya sendiri. Pertemuan dan interaksi yang memunculkan
berbagai tantangan tersebut membuatnya belajar untuk bisa terus terhubung
dengan masyarakat melalui seni dan kesenian yang dihadirkannya. Kekuatan seni tersebut
sebenarnya juga dimiliki oleh semua orang tetapi tidak semua orang
menyadarinya. Hal itu lah yang juga menjadi tantangan untuk Ajeng agar orang
lain atau masyarakat bisa “masuk” dan menyadari kekuatan seni dan kesenian
dalam diri mereka, terlebih saat ia belajar dan berkarya di Padepokan Seni
Bagong Kussudiardja (PSBK).
PSBK
adalah salah satu tempat ia bertumbuh dan berkembang. Delapan bulan berproses,
belajar dan berkarya bersama seniman lain yang berlatarbelakang berbeda (seni
suara, seni rupa dan seni gerak) di PSBK memberikan banyak hal positif
untuknya. Selain belajar berkolaborasi dengan seniman lintas bidang, ia juga
belajar tentang makna seni secara luas khususnya makna seni dalam diri manusia.
Ia memahami bahwa dalam berkesenian bukan hanya tentang ketrampilan melainkan
juga tentang pola pikir, pola rasa dan pola laku diri yang saling berkaitan dan
diusahakan untuk ditumbuhkan bersama.
Menurut
Ajeng, pada akhirnya berkesenian bukan hanya pada eksistensi dan fisik, melainkan
juga isi dari setiap pikir, rasa dan laku diri. Di PSBK pula ia belajar tentang
masyarakat. Menghadapi dan berada di depan masyarakat merupakan latihan dirinya
untuk memaksimalkan dan menghidupkan potensi seni dalam dirinya dan dalam diri
masyarakat yang dihadapinya. Seperti simbiosis
mutualisme, di ruang seni: Anjangsana,
Workshop Seni dan Jagongan Wagen,
menjadi ruang untuk saling berinteraksi dan saling belajar antara satu seniman
dengan seniman lain serta masyarakat. Proses tersebutlah yang selanjutnya
saling menumbuhkan pikir, rasa dan laku diri. Bagi Ajeng, ia
adalah bagian dari masyarakat, berasal dari masyarakat, tumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat., sehingga antara seni, dirinya dan masyarakat tidak bisa
dipisahkan karena saling berkaitan dan menumbuhkan. Oleh karena itu jugalah Ajeng
selalu ingin kembali, berbagi dan memberdayakan masyarakat melalui seni,
kesenian serta seluruh pengalaman yang dimilikinya baik di bidang seni maupun
non-seni. Keinginannya tersebut merupakan refleksi dirinya atas pencarian titik
dalam perjalanan berkeseniannya.
Yogyakarta, 3 Desember 2014
Dwi Ajeng Vye
*Tulisan ini disusun untuk dijadikan sebagai tugas
akhir program beasiswa seniman di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja tahun
2014.
*Saya sangat berterimakasih kepada pihak-pihak yang
telah berbagi ilmu, pengalaman, motivasi, dan inspirasi kepada saya, serta sudah menjadi bagian dalam menginspirasi tulisan
ini (urutan dibuat sesuai urutan
dalam tulisan di atas untuk mempermudah penulisan):
- Kedua orangtua saya
- Guru TK saya (Bu Umi Maslihah & Bu Binti)
- Guru SD saya (khususnya MP. Seni Musik & Seni Rupa)
- Guru SMPN 1 Kanigoro (khususnya MP. Seni Musik dan Seni Rupa)
- Mbak Musi (yang telah mengajari saya bermain gitar dari dasar)
- Bu Anjar (Ibu kos Srikandhi, yang telah mengajari menjahit dan meminjamkan mesin jahitnya)
- Guru SMAN 1 Talun (khususnya MP. Seni Rupa)
- Pak Joko Suwito (pelatih karawitan di UKJGS UGM)
- Mas Bayu Purnama/Papank (pelatih karawitan di GAMASUTRA FIB UGM)
- Romo Projosuwasono (pelatih macapatan)
- Bu Wiwien W. Rahayu (pembimbing PKMP & PKMM)
- Bu Daru Winarti (pembimbing PKMM)
- Mbak Sayidah Rohmah, Pipit Suprihatin, Dyta Wahyu Eka P., Vicky Dian P., Fajar Wijanarko, Ardiansyah, dll. (partner PKMP & PKMM)
- Mas Agus Patub BN. (pendiri Komunitas Suling Bambu Nusantara, pelatih musik suling bambu & angklung, Guru Kepekaan Imajinasi, Guru musik kreatif dan musik Nusantara: gamelan-suling bambu-angklung, Composer, Jingle Maker dan Ilustrator Musik)
- Teman-teman Komunitas Suling Bambu Nusantara
- Pak Pardiman Djoyonegoro (pernah menjadi pelatih karawitan untuk tim pengrawit FIB UGM saat proses produksi dies natalis FIB UGM tahun 2013)
- Om Sukisno (pernah menjadi pelatih karawitan untuk proses kegiatan UKJGS)
- Mas Nanang Karbito (pernah menjadi pelatih karawitan untuk proses kegiatan UKJGS)
- Pak Sal Murgiyanto & Purwadmadi (narasumber untuk pelatihan kelas menulis di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja)
- Teman-teman beasiswa seniman PSBK 2014 (mas dinu, mas dian, mas ndimas, mas totok, mas zulfian, mas rist, mas joe, mas djury, kidjing, vandy, mas wahono, mbak icha, mbak putri, mbak echa, mbak ine, cista, maya, mbak komang, mas didi, rahman, mas baweb, siapa lagi ya?)
- Seluruh narasumber dalam program beasiswa seniman: belajar dan berkarya di Padepokan Seni Bagong Kussudardja (pak Butet Kartaredjasa, pak Djaduk Ferianto, bu Tini, pak Jujuk, mbak Jeannie, mas Ricky, mbak Tita, mbak Nunung, mbak Citra, mbak Sulis, mas Asita, mas Wasisdll.)
- Semua pihak, sahabat, dan teman-teman yang sudah pernah hadir dan memberi warna dalam perjalanan berkesenian dan non-kesenian saya..
0 Komentar
Give ur coment