"ajining dhiri saka lathi" ('kehormatan seseorang nampak dari perkataannya')

Hari ini saya sebenarnya sedang mengeksekusi tentang ide kemarin untuk menyulam quote Jawa yang demikian di totebag saya. Akan tetapi saya baru menyadari bahwa hari ini bertepatan juga dengan hari Bahasa Ibu Internasional 2016, sehingga saya tertarik untuk menuliskan tentang moment ini.

Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati oleh masyarakat di seluruh dunia setiap tanggal 21 Februari. Bahasa ibu (menurut saya) adalah bahasa yang kita gunakan untuk keseharian sejak kita masih kecil. Disebut sebagai bahasa ibu karena ibu merupakan sosok orangtua terdekat yang mengasuh dan mendidik anak sejak kecil, meski dalam praktiknya bahasa ibu dipraktikkan juga oleh seorang ayah dan lingkungan keluarga. Dalam mengasuh dan mendidik anak, orangtua dan keluarga terdekat menggunakan bahasa sehari-hari yang selanjutnya menjadi bahasa keseharian untuk anaknya, yang selanjutnya disebut bahasa ibu.

Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki bahasa ibu yang beragam, terlebih pada zaman yang semakin modern seperti sekarang. Dari pengalaman saya sendiri, bahasa ibu yang saya terima dan gunakan adalah bahasa Jawa. Pengartian bahasa ibu di sini semacam sebagai penanda dari mana kita berasal (suku/keturunan). Contohnya, bahasa ibu saya adalah bahasa Jawa karena ibu dan ayah saya adalah orang Jawa, dan seterusnya.
 Bahasa Jawa yang saya terima tersebut berkembang mulai dari lingkup keluarga, lingkungan, dan sekolah saya. Di lingkungan sekolah lah bahasa yang saya terima mulai beragam yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa arab (sedikit saat masih SD).

Selain berlanjut tentang bahasa ibu sebagai pengartian fisik (:penanda asal suku/keturunan), menurut saya masih ada hal lain yang juga bisa dilanjutkan pemahamannya dari yang disampaikan oleh quote bahasa Jawa di atas. Dalam konteks skala besar (negara), quote tersebut diartikan sebagai 'bahasa menunjukkan bangsa'. Maksudnya bahwa dalam setiap bahasa terdapat kata, tutur kata  dan budaya yang dimilikinya. Bagaimana bahasa dituturkan dengan cara yang baik dan tepat (kondisional). Baik dan tepat ini tentang bagaimana kita menakar isi atas tutur dan sikap yang kita sampaikan. Bagaimana kita berbicara, berkomunikasi, dan bersosialisasi kepada orang lain.
Contohnya, di dalam bahasa dan budaya Jawa terdapat "unggah-ungguh". Saat berbicara kepada orang yang lebih tua atau tinggi derajatnya maka kita memakai bahasa "Krama". Kalau kepada yang seumuran atau yang lebih muda  memakai bahasa "ngoko", dan seterusnya. Meski demikian, tak jarang pula ada orang yang tetap memakain bahasa "krama" kepada siapapun, entah kepada yang seumuran atau lebih muda. Tetapi hal yang jelas, pilihan bahasa yang digunakan ini ditempatkan sebagai salah satu media untuk menghormati dan menghargai orang lain. Saya sebut sebagai salah satu karena masih ada media lain yang bisa digunakan, misalnya sikap/tingkah laku, intonasi, pilihan kata, timing", dan sebaginya.

Well, saya kira cukup di sini dulu yang bisa saya bagi-tuliskan. Barangkali tulisan ini sangat subjektif, dan itulah kenapa kamu juga boleh berbagi-tuliskan tentang pengalaman tentang bahasa ibu-mu di sini. Semoga bermanfaat. :)


Yogyakarta,
Dwi Ajeng Vye

0 Komentar