Visual Art Exhibition: WAKTU KOSONG
(teman-teman rupa "Waktu Kosong" tapi tidak lengkap :3 ) |
"WAKTU KOSONG"
terinspirasi dari ide beberapa teman yang saat itu merasa memiliki waktu kosong
yang bisa "diisi". Sesederhana itu dan perbincangan demi perbincangan akhirnya ide itu pun dieksekusi bersama
menjadi sebuah visual art
exhibition berjudul "Waktu Kosong" yang berlangsung
pada tanggal 24-29 Oktober 2015 di Gallery Hotel Rama Shinta Jl.Patangpuluhan
no.23 Yogyakarta dengan kurator yaitu Namuri Migotuwio. Pameran ini berisi 16 karya dari 16 seniman yang berlatarbelakang disiplin seni yang beragam (grafis, sastra, arsitektur, lukis, patung, kriya), yaitu: Adib Anwari, Anggih Gismana, Ahmad Hendra Harmoko, Arieza Icha, Devi Ika Nurjannah, Dicky Thenoz, Dwi Ajeng Vye, Fitri Kusumastuti, Ine Rachmawati, Johanes Lestariono, Rahman Yaasin Hadi, Ridwan Lutfi, Riaso Pambudi, Rizal Eka P., Sigit Alghofur Ramadhani, dan Zulfian Amrullah. (akan tetapi sayang sekali saya tidak punya foto karya dari masing-masing karena kemarin tidak sempat memotretnya :| )
KURATORIAL "WAKTU KOSONG"
Imajinasi apa yang
tergambarkan ketika mendengar kata waktu? Deretan angka yang bergerak memutar,
satuan hitung yang terstandarisasi, sejarah, rencana, kebahagiaan karena
mendekatkan kita pada penantian atau bahkan ketakutan karena ketidaksiapan diri
menghadapi berbagai hal di depan mata. Waktu menjadi hal yang melahirkan makna
bervariatif apabila disandingkan dengan kata kosong, sebuah paduan kata yang
memantik imajinasi untuk dituangkan dalam bentuk karya seni visual.
Berangkat dari proses persahabatan yang mengsinergikan 16 perupa dengan berbagai bidang keahlian antara lain fotografi, lukisan, seni grafis, patung dan desain grafis. Pameran seni visual dengan tema “Waktu Kosong” menyajikan pemaknaan waktu kosong untuk divisualisasikan secara estetis dan mampu membangkitkan pemahaman secara mendalam akan konteks waktu.
Bagi para perupa waktu kosong bukanlah waktu yang kontra produktif, justru waktu kosong merupakan kesempatan mahal dan dapat dipergunakan sebagai pelontar yang mampu mengangkat jiwa untuk siap melangkah menuju tangga yang lebih tinggi. Bagaimana seorang perupa merepresentasikan waktu kosong sebagai cara untuk produktif dalam bentuk lain, kesempatan yang paling ideal untuk menghargai diri dengan memberikan otoritas yang besar dalam menjalankan fungsinya tanpa intervensi apapun. Terkadang diri sendiri pun menjadi sosok yang memiliki pengaruh kuat untuk menghalangi kita dalam memaknai serta memanfaatkan waktu kosong. Ketakutan, ketidaksiapan dan kebiasaan menjadikan waktu kosong tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena bagi pribadi yang terbiasa sibuk waktu kosong merupakan momentum untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin agar tidak gagal dalam menjalani detik-detik berikutnya.
Memiliki dan memanfaatkan waktu kosong sejatinya bukanlah hal yang mudah, salah seorang perupa Rahman Yaasin Hadi memaknai waktu kosong sebagai proses spiritualitas yang suci dan mampu memberikan energi besar yang mengantarkan jiwa ke tangga kehidupan lebih tinggi. Waktu kosong juga menjadi simbol kebahagiaan yang cerah, tanpa beban, jujur dan istimewa dibandingkan moment berharga lainnya. Manusia secara tulus bekerja dan menjalankan proses kehidupan dengan mempertimbangkan berbagai aspek, waktu menjadi hal yang bukan ada untuk disia-siakan tetapi menjadi kendaraan untuk meraih apapun yang dicita-citakan. Terkadang rutinitas menjadi mesin pembunuh waktu yang menjadikan seseorang kehilangan makna akan waktu kosong, jika Risao Pambudi dalam karyanya mencoba untuk merepresentasikan sebegitu berharganya waktu kosong maka Arieza Icha dan Dwi Ajeng sepakat menciptakan karya yang memaknai waktu kosong sebagai momentum instropeksi, diam sejenak melihat seberapa jauh diri melangkah dalam medium karya yang berbeda.
Karya yang disajikan dalam pameran tersebut tidak hanya mendokumentasikan imajinasi dalam bentuk fisik, tetapi juga sebagai proses aktualisasi tema yang dekat dengan kehidupan namun jarang dipikirkan. Para perupa memiliki konsep yang tajam dan sangat menarik untuk diapresiasi sebagai karya yang bernilai dan mampu menimbulkan awareness.
Yogyakarta, 20 Oktober 2015
Kurator:
Namuri Migotuwio
Berangkat dari proses persahabatan yang mengsinergikan 16 perupa dengan berbagai bidang keahlian antara lain fotografi, lukisan, seni grafis, patung dan desain grafis. Pameran seni visual dengan tema “Waktu Kosong” menyajikan pemaknaan waktu kosong untuk divisualisasikan secara estetis dan mampu membangkitkan pemahaman secara mendalam akan konteks waktu.
Bagi para perupa waktu kosong bukanlah waktu yang kontra produktif, justru waktu kosong merupakan kesempatan mahal dan dapat dipergunakan sebagai pelontar yang mampu mengangkat jiwa untuk siap melangkah menuju tangga yang lebih tinggi. Bagaimana seorang perupa merepresentasikan waktu kosong sebagai cara untuk produktif dalam bentuk lain, kesempatan yang paling ideal untuk menghargai diri dengan memberikan otoritas yang besar dalam menjalankan fungsinya tanpa intervensi apapun. Terkadang diri sendiri pun menjadi sosok yang memiliki pengaruh kuat untuk menghalangi kita dalam memaknai serta memanfaatkan waktu kosong. Ketakutan, ketidaksiapan dan kebiasaan menjadikan waktu kosong tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena bagi pribadi yang terbiasa sibuk waktu kosong merupakan momentum untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin agar tidak gagal dalam menjalani detik-detik berikutnya.
Memiliki dan memanfaatkan waktu kosong sejatinya bukanlah hal yang mudah, salah seorang perupa Rahman Yaasin Hadi memaknai waktu kosong sebagai proses spiritualitas yang suci dan mampu memberikan energi besar yang mengantarkan jiwa ke tangga kehidupan lebih tinggi. Waktu kosong juga menjadi simbol kebahagiaan yang cerah, tanpa beban, jujur dan istimewa dibandingkan moment berharga lainnya. Manusia secara tulus bekerja dan menjalankan proses kehidupan dengan mempertimbangkan berbagai aspek, waktu menjadi hal yang bukan ada untuk disia-siakan tetapi menjadi kendaraan untuk meraih apapun yang dicita-citakan. Terkadang rutinitas menjadi mesin pembunuh waktu yang menjadikan seseorang kehilangan makna akan waktu kosong, jika Risao Pambudi dalam karyanya mencoba untuk merepresentasikan sebegitu berharganya waktu kosong maka Arieza Icha dan Dwi Ajeng sepakat menciptakan karya yang memaknai waktu kosong sebagai momentum instropeksi, diam sejenak melihat seberapa jauh diri melangkah dalam medium karya yang berbeda.
Karya yang disajikan dalam pameran tersebut tidak hanya mendokumentasikan imajinasi dalam bentuk fisik, tetapi juga sebagai proses aktualisasi tema yang dekat dengan kehidupan namun jarang dipikirkan. Para perupa memiliki konsep yang tajam dan sangat menarik untuk diapresiasi sebagai karya yang bernilai dan mampu menimbulkan awareness.
Yogyakarta, 20 Oktober 2015
Kurator:
Namuri Migotuwio
*****
"LOOK" dalam "WAKTU KOSONG"
Saat tahu bahwa akhirnya
dua kata ini yang fixed dipakai sebagai judul pameran,
saya pun mencoba mencerna dan membrain-storming dua
kata tersebut sebelum akhirnya mengkaryakan sesuatu melalui bidang saya di seni
kriya (:craft). Banyak makna yang
saat itu saya temu dan tuliskan. Semakin banyak yang tertulis ternyata semakin
pusinglah saya untuk memilah dan memilih karena menurut saya masing-masing
mewakili dari dua kata di atas.
Bagi saya, waktu kosong
yang saya temukan mungkin berkebalikan dengan orang kebanyakan. Seperti halnya
ide awal tentang ‘Waktu Kosong”, saat orang lain sibuk mencari kegiatan atau
aktivitas untuk mengisi waktu kosongnya, justru saya sedang mencari waktu
kosong untuk diri saya sendiri. Kata sebagian orang yang paham tentang saya,
saya termasuk orang yang sibuk karena tiap diajak bertemu atau sekedar nongkrong
dan ngobrol sangat susah (padahal sekalinya
saya selo pasti sangat selo sekali :p). Dan memang kenyataannya
saya (sok) sibuk. Sebenarnya bukan mau (sok) menyibukkan diri, tetapi memang saya
yang tidak betah diam tanpa melakukan apa-apa. Saat
diam, saya merasa tidak produktif. Selalu ingin gerak, gerak, dan produktif.
Itu lah mengapa akhirnya saya merasa kekurangan waktu kosong.
Waktu kosong di sini menurut saya adalah tentang waktu yang saya bisa terbebas dari beban atau
tendensi. Tidak hanya tendensi dari luar, tetapi yang lebih membahayakan adalah
tendensi dari diri kita sendiri khususnya pikiran. Mengapa pikiran? Karena menurut
saya, pikiran kita akan selalu ke mana-mana dan melahirkan banyak ide saat
melihat-mendengar-merasakan sesuatu. Itu lah alasan mengapa pikiran harus
benar-benar dijaga dan dikendalikan. Susah memang untuk mengendalikan pikiran
saat ide-ide muncul dengan liarnya apalagi kalau itu membuat kita penasaran
sehingga ingin segera mengeksekusi ide tersebut. Tidur tidak nyenyak, dan hmm..
never let me “silent”. Itulah yang menurut
saya adalah bagian dari tendensi yang berasal dari diri kita sendiri.
Selain itu, waktu kosong
di sini menurut saya juga bisa menjadi "ruang" refleksi diri. Kalau kata mas Adjie Silarus menyebutnya "hening sejenak"; berhenti sebentar. Menurut saya, salah satu cara untuk mengendalikan tendensi pikiran menurut saya adalah dengan “melihat
dan menyadari” apa yang telah ada pada diri kita dan posisi diri kita. Tanpa keduanya
maka nafsu manusia tidak akan pernah puas dan cukup. Akan selalu kurang dan
kurang. “Melihat dan menyadari” ini bagi saya juga sekaligus untuk menumbuhkan
rasa syukur kita atas apa yang sudah kita miliki dan kita jangkau hingga
sekarang. Ambisi memang penting, tetapi ambisi yang tak pernah berhenti tanpa
jeda maka tak selalu baik untuk diri kita sendiri, jiwa dan raga.
Dari pengalaman pribadi, tak jarang pula saya pernah sampai sakit dan kelelahan fisik karena terlalu memforsir tenaga dan pikiran
untuk sesuatu yang saya inginkan dan saya mimpikan, lalu akhirnya saya pernah
menyerah sesaat dan mempedulikan serta menyayangi diri saya sendiri. Dan, saat
itu lah saya memahami bahwa “jeda” itu sangat penting, baik jeda pikiran maupun
jeda fisik (istirahat). Itu sebenarnya hal-hal kecil yang ternyata berefek
besar untuk diri kita. Proses-proses itulah yang kemudian menjadi salah satu
titik terang sekaligus tantangan untuk diri saya sendiri. Lagi-lagi bahwa
menjaga dan mengendalikan pikiran itu tidak mudah. Akan tetapi juga bukan tidak
mungkin bahwa hal itu bisa dilatih dan dipelajari.
Beberapa hal itu lah yang
menginspirasi karya sederhana saya di pameran “Waktu Kosong” ini. "Look", sebuah karya
yang menurut saya adalah bagian dari refleksi diri saya atas proses-proses diri
yang terjadi di setiap hari. Selamat memahami dan memaknai, atau tak perlu keduanya. Terima kasih.
Yogyakarta,
Dwi Ajeng Vye
0 Komentar
Give ur coment