Terinspirasi dari catatan saya di buku harian, 21 Juli 2014 yang lalu, tentang menjahit dengan tangan, tiba-tiba saya ingin melanjutkannya di sini. Flashback — sejak saya mengenal dan belajar menjahit dengan mesin jahit, kelas 1 SMA, saat itulah saya mulai bermimpi untuk memiliki mesin jahit. Sebenarnya perwujudan mimpi tersebut sudah terprogres di akhir tahun 2014 kemarin, tetapi ternyata progresnya melesat. Tabungan yang dikumpulkan beberapa bulan pun akhirnya masuk ke benda yang lain. Entah nafsu atau apa, tapi saya kira selama benda tersebut bermanfaat untuk saya saat ini dan seterusnya, tidak ada yang perlu saya sesalkan. Sebab, nyatanya benda tersebut begitu membantu aktivitas saya sekarang :) —
Well, berangkat dari keinginan untuk memiliki mesin jahit tetapi belum kesampaian, sempat dan bahkan sering menggalaukan saya sendiri. Sering muncul ide untuk berkarya yang  pengkaryaannya (menurut saya) lebih cepat menggunakan mesin jahit daripada mesin tangan manual. Atau, saat tangan saya sudah cukup lelah menjahit tiba-tiba seperti muncul keinginan untuk menyerah. Tidak hanya sekali dua kali, bahkan sering saya alami. Akan tetapi, mendapati kenyataan saya belum memiliki mesin jahit membuat saya harus memahami keadaan saya sendiri. Ini bukan tentang pasrah, melainkan tentang kesabaran dan proses. Jika sudah demikian, saya pun tidur atau sejenak mengistirahatkan diri dengan merefreshingkan diri dengan aktivitas yang lain. Ya, dan akhirnya saya tahu letak permasalahannya: (mungkin) bukan jiwa saya yang lelah dan ingin menyerah, tetapi raga saya yang sedang butuh istirahat karena saya yang over beraktivitas menjahit dengan tangan sampai lupa menjaga kesehatan diri. Setelah istirahat cukup, alhasil semangat diri pun kembali pulih.
            Menjahit dengan tangan, sebenarnya masih menjadi pertanyaan untuk diri saya sendiri: mengapa saya masih mau menjahit dengan tangan meski zaman sudah maju? Mungkin bagi orang lain atau kamu sendiri, menjahit dengan tangan adalah kuno atau jadul atau apalah istilah lainnya. Jangankan orang lain atau kamu, saya pun juga sempat pernah berpikir demikian. Akan tetapi, saya selalu berusaha mencari alasan agar saya terus mau menghidupkan berkarya menjahit dengan tangan, dengan tujuan agar saya tak menyerah dan menghentikan aktivitas tersebut (menjahit dengan tangan).
            Bagi saya, semakin zaman ini maju dan berkembang dengan berbagai macam kecanggihan teknologi, sebuah karya manual atau handmade akan menjadi sesuatu yang langka. Karena kelangkaannya itulah sebuah karya itu mahal. Coba bayangkan, menjahit dengan tangan membutuhkan waktu yang lebih lama. Ini tentang waktu, dan padahal waktu adalah sesuatu yang sangat berharga (untuk saya). Karena dengan saya menghabiskan waktu saya untuk menjahit dengan tangan, saya pun kehilangan banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal lainnya yang mungkin jauh lebih menguntungkan. Apalagi, menjahit dengan tangan membutuhkan kesabaran. Dalam kesabaran pastinya ada kelembutan cinta kasih yang ditanamkannya, dan akhirnya saya menyebutnya: berkarya dengan hati. Hal-hal seperti inilah yang sebenarnya perlu dipahami oleh konsumen dan calon konsumen. Berlaku untuk karya apapun, tidak hanya menjahit dengan tangan. Betapa seorang konsumen yang bijak seyogyanya tidak hanya memikirkan nominal untuk mendapatkan harga yang murah, tetapi juga perlu memikirkan nominal untuk menghargai sebuah karya dan pengkaryanya atas karya yang dikaryakannya (dwiajengvye, 2015).
            Ah, kok sepertinya tulisan saya ini semacam kamuflase saya untuk menghibur diri saya sendiri agar saya tidak menyerah pada keadaan ya? Meskipun kamuflase, tetapi memang begitulah yang pernah saya temui. Pada saat saya menjadi produsen dan penjual kepada konsumen, tak jarang saya mendapati umpatan “kok mahal sih, mbak?”, “kok nggak lebih murah sih, mbak?” dan blablabla tentang sebuah harga. Oke, memang cara pandang seorang konsumen dan calon konsumen memang tak selalu sama dengan cara pandang seorang produsen dan penjual. Tetapi bukan berarti semua konsumen atau calon konsumen semuanya seperti itu ya, tidak. Sangat saya apresiasi lebih untuk konsumen dan calon konsumen yang membeli dengan memperhatikan proses pengkaryaan. Itu mah bagi saya adalah konsumen yang bijak, dan saya masih menemukannya.
            Jadi intinya, seyogyanya karya dari buah tangan manusia atau handmade itu perlu untuk dihargai lebih daripada karya pabrikan. Ini bukan tentang fisik, tetapi tentang  menghargai dan menghidupkan rasa. Dan, semakin orang berbondong-bondong untuk mencanggihkan apapun, semakin saya jauh lebih baik untuk berdiri pada pilihan saya sekaligus menghidupkan yang mereka lupakan dan tinggalkan. Jika semua beralih kepada kecanggihan, siapa yang akan menghidupkan ke-tradisional-annya jika saya sendiri tidak memulainya. Ya, daripada terus menggerutu ya lebih baik saya memulai dari diri sendiri untuk berbuat. Saya pun yakin bahwa tidak ada yang sia-sia atas segala hal yang saya lakukan (menjahit dengan tangan) karena kelak pasti akan bermanfaat. Namun, bukan berarti lantas saya membatalkan diri untuk mewujudkan mimpi untuk memiliki mesin jahit ya. Tidak. Saya hanya sedang mencoba mengangkat sesuatu yang sedang semakin dipandang sebelah mata. Sebab, apa-apa sekarang serba canggih dan serba cepat. Seperti pabrik yang sekarang banyak memakai mesin teknologi dan nilai harganya lebih mahal daripada harga mesin manusia. Hmm.



Yogyakarta,
Dwi Ajeng Vye



0 Komentar