Kali ini saya mau sharing tentang sampul buku ala lakban plastik. Kenapa lakban plastik? Jadi, awalnya ide ini muncul saat saya masih menjadi maba aka mahasiswa baru, tahun 2009. Saat itu saya, karena tuntutan kebutuhan materi perkuliahan, saya mendadak rajin mencicil untuk memfotokopi buku. Ya, mencicil, karena banyak buku yang saya butuhkan tetapi finansialnya belum mendukung sehingga memenuhinya pun harus antri, sedikit demi sedikit. Lalu, menjilid buku fotokopian dengan model hard bagi saya saat itu (dan saat ini juga sih) cukup mahal, sehingga saya lebih pilih sampul jilidan buku dengan kertas buffalo. Namun, karena kertas buffalo tergolong tipis, ia  mudah kucel. Meskipun sudah dijaga dengan baik, tetapi karena yang pegang buku kadang tidak hanya saya (misal ada teman saya yang meminjam), jadi tetap saja buku bersampul buffalo tersebut rawan kucel. Juga, karena saya hobi mengoleksi atau lebih tepatnya hobi siap sedia barang-barang kecil (lakban plastik, stapler, solasi kecil, gunting, dll) tetapi penting dan bermanfaat untuk kebutuhan sehari-hari, maka saat itu saya mencoba untuk mulai memanfaatkannya, salah satunya yaitu lakban sebagai bahan sampul buku.
Sebenarnya menyampuli buku dengan lakban plastik tak jauh beda dengan melakban benda-benda di sekitar kita (misal melakban kardus). Bedanya, kalau melakban kardus biasanya hanya sekali atau dua kali pada bagian yang ingin dilakban, sedangkan melakban sampul buku dilakukan berkali-kali, satu halaman sampul full. Untuk mengawalinya, langkah pertama saya biasanya mulai dengan melakban punggung buku. Di bagian ini sekaligus saya melekatkan "kertas identitas" yang juga saya gunakan di buku-buku milik saya yang lain.

(Photo by: dwiajengvye, 2014)

"kertas identitas" ini saya terinspirasi dari "kertas identitas" yang ada di buku-buku perpustakaan (sekolah, kampus, dan umum) dan buku-buku milik teman-teman saya. Menurut saya, "kertas identitas" ini penting, sebagai tanda identitas pemilik. Selain itu juga bisa untuk antisipasi misal si buku tertinggal di suatu tempat dan ditemukan oleh orang lain yang mungkin tidak mengenal kita, nah fungsinya di sini. Si penemu buku bisa menghubungi kita. Kalau saya sih "kertas identitas"nya saya isi nama, alamat email dan nomor handphone. Kalau sudah, langkah selanjutnya adalah melakban seluruh halaman sampul. Bisa dimulai dari sisi halaman depan atau belakang, sama saja sih. Contohnya seperti ini: 

(Photo by: dwiajengvye, 2014)

Langkah kedua sama seperti foto di atas, bedanya: melekatkannya dimulai dari sampingnya punggung buku (langkah pertama). Lakbannya di lekatkan memanjang dan satu arah: dari kiri ke kanan. Dengan posisi lakban seperti foto di atas akan lebih memudahkan kita dalam melekatkan lakban, dan juga lebih terlihat rapi. Bagian sampul yang dilakban tidak hanya sisi depan, tetapi juga di bagian sisi dalam (belakangnya sampul sisi depan). Seperti ini contoh bagian sisi dalam (belakangnya sampul sisi depan):

(Photo by: dwiajengvye, 2014)

Jadi semua bagian kertas sampul buku dilakban. Pastikan tidak ada bagian yang belum terlakban agar sampul buku lebih awet dan rapi. Pastikan juga bahwa kertas sampul tidak ada yang terlipat, jadi posisi kertas sampul benar-benar lurus dan rapi. Hal penting lagi, hati-hati dalam melekatkan lakban agar hasilnya rapih, karena sekali kucel maka lakban akan susah dilepas. Meskipun bisa dilepas dengan paksa, tetapi itu akan bisa merusak kertas sampul.

Kalau semua bagian kertas sampul buku sudah selesai dilakban, maka akan seperti inilah hasil akhirnya..

(Photo: hanya sebagai contoh, bukan untuk promosi buku :p)

Nah, gampang kan? kuncinya: telaten. Soalnya, dari pengalaman saya berbagi trik menyampul buku dengan lakban kepada teman-teman saya, hampir semua komen bahwa ia tidak telaten. Meskipun akhirnya berhasil mencoba menyampul buku dengan lakban sih, tetapi komen akhirnya masih sama: "lama dan harus telaten". Ya begitulah, semua yang menjadi tujuan harus diperjuangkan dengan pengorbanan, termasuk menyampul buku dengan lakban. Okey, semoga tips ini bermanfaat. Selamat mencoba! :)



Yogyakarta,
Dwi Ajeng Vye


0 Komentar