Masyarakat yang Berkesenian dan Berkebudayaan
Tulisan ini terinspirasi
ketika saya sedang mengikuti latihan tempuk
gendhing persiapan pertunjukan wayang wong
di desa Manisrenggo, Klaten, Yogyakarta,
beberapa hari yang lalu. Di sana,
di sebuah rumah seorang budayawan, saya bertemu dengan banyak orang yang
terlibat dalam proses persiapan pertunjukan wayang wong, mulai dari anak-anak sampai lansia. Saat itu waktu sudah
cukup malam karena kami memulai tempuk
gendhing sekitar pukul 21.00 WIB. Meski waktu sudah cukup malam (menurut
saya), tetapi orang-orang tersebut masih cukup semangat untuk melaksanakan tempuk gendhing.
Saya sangat mengapresasi orang-orang
tersebut, karena di sela kesibukannya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau
kesibukan segala rutinitasnya, mereka masih mau menyempatkan diri, pikiran, tenaga dan
waktunya untuk berkesenian. Tak tahu apa alasan mereka hingga mereka mau
meluangkan semua yang mereka miliki untuk berkesenian, bahkan larut dini hari (saat itu selesai pukul 01.15-an WIB). Kalaupun
(jika di daerah lain) bagi orang-orang yang hanya mengejar materi dan keuntungan finansial pasti
sudah enggan berlelah-lelah untuk berproses seperti itu. Mungkin yang demikian lebih
memilih untuk menjadi penonton dan menikmati pertunjukannya, atau memilih tidur untuk bersiap bekerja di hari
esok. Ya, kadar cinta terhadap kesenian pada masing-masing diri individu memang
berbeda-beda.
Mungkin (bagi
mereka yang cukup antusias dan semangat berproses) berkesenian merupakan salah
satu cara atau media untuk mereka dapat menikmati hidup, menghidupkan hidupnya
untuk menjadi lebih hidup, bahagia dan bermanfaat. Seperti halnya saya yang terkadang
jika dipikir secara nalar, ketika berkesenian saya tak cukup banyak mendapatkan
uang, bahkan sering tak mendapatkannya (baca: sukarela atau sosial), tetapi
saya tetap melakukannya dan menikmatinya dengan senang meski di sisi lain saya juga sedang butuh uang atau
butuh meluangkan waktu saya untuk urusan saya yang lain. Namun, dari sana saya mendapat
kesenangan batin yang tak bisa saya beli dengan uang. Saya mendapat banyak hal:
ilmu, keluarga, pengalaman, nikmat hidup, dan sebagainya yang hanya bisa
dinikmati dengan rasa. Ya, mungkin itulah salah satu alasan bagi orang-orang
yang saya temui di proses berkesenian wayang wong kemarin.
Selain pandangan
tersebut, dari proses itu pula saya dapat mengambil pengetahuan bahwa
berkesenian, salah satunya yaitu wayang wong,
menjadi alat untuk mempersatukan masyarakat atau bangsa. Nampak terlihat dari
cara mereka mempersiapkan properti pertunjukan wayang wong yang dilakukan secara bersama-sama. Ada orang-orang yang tercasting menjadi tokoh wayang wong,
ada yang bertugas mnejadi pengiring wayang wong
atau pemain gamelan, ada yang menyiapkan konsumsi, ada yang menyiapkan
properti pertunjukan, dan seterusnya. Semua dilakukan secara bersama-sama, rata
dan gotong-royong. Semua itu dilakukan untuk tujuan bersama (satu visi) yaitu sajian
pertunjukan kesenian wayang wong yang terbaik.
Luar biasa sekali
bukan? Bisa dibayangkan jika hal itu juga tumbuh, berkembang, hidup dan dihidupkan di
seluruh daerah di Indonesia
(minimal tingkat RT atau RW). Betapa negara ini menjadi damai dan kian erat
bersatu, sehingga tak mudah diadu-domba karena semua masyarakat sudah menjadi
satu kesatuan yang kuat. Seperti semboyan Pancasila kita Bhinneka Tunggal Ika ‘berbeda-beda tetapi tetap satu jua’. Pun
termasuk kesenian dan kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat
beranekaragam, yang jika disatukan akan menjadi kesatuan yang utuh, kuat, dan yang jelas adalah menjadi sebuah harmoni yang indah.
Sepertinya tulisan
ini kosong tanpa ada laku atau tindakan. Saya memang belum melakukan banyak
untuk hal itu. Namun, setidaknya dari pertemuan, kebersamaan dan kolaborasi
saya dengan masyarakat di Manisrenggo pada beberapa hari lalu, saya mendapat
pengetahuan, mempelajari dan memaknai tiap detik dari prosesnya, lalu membaginya melalui
tulisan ini. Harapannya, orang-orang yang pikirannya masih tertutup dan fanatik
terhadap kesenian dan kebudayaan, terlebih yang terlalu mengagungkan agama, menjadi
(minimal sedikit) terbuka ruang pikirnya. Dengan demikian, mereka bisa
lebih menghargai kesenian dan kebudayaan yang kita miliki.
Namanya juga
kebudayaan, (sepemahaman saya) budaya berawal dari sesuatu yang diciptakan atau
dilahirkan dari kreativitas individu atau masyarakat dan ditumbuhkan, terus dihidupkan dengan melakukannya secara terus-menerus hingga menjadi sebuah
kebiasaan, dan akhirnya (melalui kesepakatan bersama) dijadikan sebagai budaya.
Jadi, jelaslah berbeda antara agama dan budaya, tidak dapat dicampur, apalagi
dipandang melalui satu pola pikir, satu arah pandangan.
Yogyakarta,
-Dwi Ajeng Vye-
0 Komentar
Give ur coment