Menulis sebagai Alat Dokumentasi
Menginjak
bangku SD dan SMP, saya suka menulis. Sebenarnya bukan lebih kepada isinya,
melainkan aktivitas dari menulis dan bagaimana menulisnya. Membentuk dan
bereksperimen membentuk huruf dengan sesuka hati. Mulai dari seperti benang ruwet hingga akhirnya bisa disebut
indah. Hingga memasuki kelas SMP, saya mulai suka menulis tentang isinya. Hanya
sebuah buku harian tentang pengalaman tentang pribadi a.k.a. curhat pribadi.
Apalagi saat SMP, di sekolah saya masih sangat sering dididik untuk berlatih
merangkum bacaan. Dan itulah salah satu aktivitas sekolah yang saya sukai,
dimana saya bisa bereksperimen gaya-gaya huruf ketika menulis hasil rangkuman.
Berlanjut
ke SMA, ternyata juga tak jauh-jauh dari aktivitas menulis. Masih ingat tentang
catatan harian pribadi yang menjadi lanjutan dari masa SMP. Bedanya dengan masa
SMP, kalau di SMA sudah jarang dengan kegiatan merangkum. Namun, di luar jam
sekolah dan belajar, sayaya lebih menyukai pinjam buku di perpustakaan, buku
yang saya anggap menarik, lalu membacanya dan menulis sesuatu dari hasil
membacanya. Bermanfaat sih, bahkan menjadi sesuatu yang bisa saya baca-baca
lagi ketika saat ini sudah tak SMA lagi. Dan ternyata hingga ke bangku
perkuliahan pun kebiasaan itu masih terjadi. Saya masih suka mencatat, apapun
yang saya anggap menarik dan penting, bahkan yang mungkin buat orang lain
adalah sesuatu yang tidak penting.
Meskipun
demikian, bagi saya mencatat itu penting. Mencatat menjadi bagian dari
mendokumentasikan, merekam dan mengarsipkan. Karena saya sangat menyadari
kekurangan saya atas “kelalaian” sebagai manusia, maka saya menulisnya. Moment
bisa saja sudah berlalu, tetapi hasil catatan saya masih bisa saya baca. Meski
buku catatan sebuah benda fisik yang bisa saja hancur –misal: rusak akibat
bencana banjir, dan sebagainya– tetapi setidaknya saya bisa tahu dan pernah
mendokumentasikan setiap momen atau hasil pikiran. Mungkin bagi orang, mencatat
adalah sesuatu yang me-ribet-kan, tetapi bagi saya mencatat tetap ada manfaatnya.
Bahkan catatan tentang ide-ide atau mimpi yang konyol yang saya catat, ternyata
di lain waktu menjadi sesuatu yang mereminding
saya sendiri tentang sebuah eksekusi atas ide-ide, pikiran atau mimpi yang
sudah tercatat dan mungkin terlupakan.
Selain
itu, saking sudah menjadi kebiasaan,
aktivitas mencatat menjadi sebuah kecanduan. Misalnya, saya pernah mengalami
rasa dan kondisi tidak nyaman ketika saya pergi ke sebuah tempat atau acara
dimana saya sedang tidak membawa alat untuk mencatat, misal: buku dan bulpoin.
“Rasanya gemes!”, dan ya sudah, saya
menikmati segala kejadian di acara tersebut dengan mengandalkan kekuatan daya
ingat. Dan, ya… namanya juga daya ingat, apalagi manusia, terkadang ingatan
atas ide-ide terlupakan dan tak teringat, dan itu juga menjadi lebih
menggemaskan.
Masih
bisa lebih berbahagia sih atas adanya teknologi yang membantu untuk mencatat,
misal: handphone, laptop, atau apapun
jenis teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk mencatat. Tetapi saya masih lebih
senang untuk mencatatnya secara manual di buku catatan, khususnya untuk hasil
catatan-catatan kecil. Baru next time hasil
catatan saya bisa saya kembangkan untuk menjadi sebuah catatan panjang, misal
catatan di blog ini. Selain sebagai hobi atau kegemaran, menulis atau mencatat itu juga bisa menjadi sebuah terapi diri.
Pengalaman saya: semakin isi pikiran dituangkan dan ditranskrip dalam tulisan,
semakin pikiran saya lebih enteng.
Apalagi jika dalam sebuah momen, misal saya sedang naik sepeda lalu
tiba-tiba terbayangkan dan terbesit sebuah pikiran dan ide, seringnya akan
menjadi ingin segera menulis dan mencatatnya agar tak keburu lupa. Sebenarnya
sudah meyakinkan diri: “diingat dan diingat dulu”, tetapi namanya manusia,
nantinya ada saja yang membuat lupa sehingga apa yang terpikirkan atau
ter-ide-kan menjadi lupa atau dilupakan tanpa sadar. Begitu juga dengan
postingan ini adalah juga sebagai wujud terapi diri atas argumen-argumen yang
tersimpan dalam pikiran. :D
Memang
ide-ide itu datangnya selalu mengejutkan, dan terkadang juga tak terduga kapan
dan di mana. Ketika mereka berdatangan dan berterbangan, saat itu pula buku
catatan atau alat notes menjadi perekam
yang sangat berguna. Itulah yang kemudian –bagi saya– aktivitas menulis
atau mencatat menjadi sesuatu yang termasuk sangat penting untuk saya,
sehingga juga penting untuk membawa buku catatan ke mana-mana ketika bepergian,
atau bisa juga dengan bantuan teknologi apapun yang bisa digunakan untuk
mencatat atau menulis. Ngomong-ngomong, membicarakan
tentang mencatat atau menulis, saya menjadi ingat dengan tradisi menulis bagi
orang barat. Jujur saya salut dengan orang barat –misal penjajah bangsa kita
terdahulu– yang mau menulis sejarah-sejarah masa dahulu. Seperti halnya
buku-buku sejarah atau buku para ilmuwan, pastinya itu semua juga berawal dari
tradisi lisan atau kejadian fisik yang dialami penulis atau yang dilihat
penulis kemudian ditranskrip dan didokumentasikan ke sebuah tulisan, sehingga
terwujudlah sebuah buku sejarah atau buku teori dari para ilmuwan.
Sebenarnya
di Nusantara, tradisi tulis juga sudah berkembang sejak lama. Buktinya yaitu
adanya naskah-naskah kuno Nusantara yang saat ini masih disimpan di beberapa
perpustakaan atau museum, misal: Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta,
Perpustakaan Sana Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Nasional RI, Jaranitra
Yogyakarta, dan sebagainya. Salut juga ketika saya –kemarin– pernah membaca
salah satu koleksi naskah tersebut. Salut juga betapa nenek moyang kita dulu
keren dan hebat. Jadi membayangkan bagaimana jadinya jika dulu semua nenek
moyang kita menerapkan tradisi tulis, maka semua sejarah masa dahulu dapat
terekam, terdokumentasikan dan tersampaikan kepada generasi sekarang atau
generasi masa depan. Beberapa suara yang saya pernah dengar sih, buku-buku
sejarah dahulu banyak yang dibawa oleh penjajah ke luar negeri, ke negeri
asalnya, yang padahal di dalam buku-buku itu termuat sejarah-sejarah atau info
yang penting. Namun, tentang kebenarannya saya kurang tahu tentang hal itu
karena belum melihatnya secara langsung.
Baiklah,
sampai di sini dulu bersharingnya.
Thanks! :D
Yogyakarta,
-Dwi Ajeng Vye-
2 Komentar
orang kita juga punya tradisi menulis lebih canggih daripada barat. yaitu menulis dg ingatan abadi dan hati.
BalasHapuskalau sekarang lebih hobi nulis di blog ya mba,
BalasHapusGive ur coment