Apa yang kamu maknai ketika datang hari dimana kamu sedang mengulang tanggal dan bulan kelahiranmu? Kalau sewaktu SD, SMP dan SMA dulu saya masih sering merayakan hari istimewa saya dengan menikmati syukur bersama sahabat-sahabat sekolah saya. Menyisihkan beberapa rezeki untuk berbagi, yang dalam bahasa ngetrennya adalah “traktiran”. Saat itu pemikiran saya memang baru sebatas rasa senang dan bahagia karena pengulangan tanggal dan bulan kelahiran itu begitu terasa sangat istimewa, hingga saya pun merasa sayang untuk melewatkannya tanpa membuat moment. Pernah dulu merayakan bersama para sahabat hingga saya dilumuri tepung, dimandikan dengan air, hingga dikerjain oleh mereka. Ya, saya kira itulah proses berpikir saya.
Namun, setelah menginjak tahun demi tahun, proses demi proses saya jalani, gerak demi gerak untuk terus belajar, ternyata cara memaknai tanggal dan bulan kelahiran cukup berbeda. Sekarang, mengulang tanggal dan bulan lahir saya rayakan dengan penuh rasa syukur dan introspeksi diri. Introspeksi diri (menurut saya) menjadi langkah yang penting dalam memaknai umur. Semakin saya bertambah umur, apa yang sudah saya berikan untuk sesama yang hidup? Sudah bermanfaatkah kehadiran saya dan hidup saya di sini? *pertanyaan macam apa ini?*.
Rasanya seperti sedang mempertanggungjawabkan diri sendiri. Seperti kata seseorang kepada saya, bahwa masing-masing dari kita diciptakan oleh Tuhan bukan tanpa alasan. Kita memiliki tugas dengan perannya masing-masing yang berbeda-beda. Kita hidup tidak hanya terus sibuk mencari kekayaan dan harta dunia untuk dirinya sendiri dan mengidupi diri kita sendiri, tetapi juga terus memberikan manfaat dan berbagi untuk menghidupkan sesama yang hidup. Bagaimana jika raga kita hidup tapi hati dan rasa kita ternyata mati? Bagaimana jika kita kaya dengan berjuta-juta uang tetapi tak memberikan manfaat kepada sesama yang hidup?
Lagi-lagi kembali ke masalah umur. Jika umur sudah bertambah, lalu kenapa? Saya mau apa dan ngapain? Saya sudah melakukan apa, membuat apa, menghasilkan apa? Hmm.. lagi-lagi juga saya memang perlu dan harus merenungi dengan rasa kesadaran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.


Yogyakarta,
-Dwi Ajeng Vye-

0 Komentar