Mengendarai sepeda sebagai alat bermobile itu menyenangkan bagi yang menyukainya, termasuk saya. Meskipun dari segi waktu kadang kurang efektif karena memakan banyak waktu ketika menempuh jarak jauh, tetapi masih ada hal positif yang bisa diambil. Sebagai pengendara sepeda, saya mendapatkan banyak pelajaran yang sebelumnya belum saya dapatkan. Mengendarai sepeda memberikan kesempatan dan waktu lebih banyak untuk saya, untuk melihat, memperhatikan, dan memahami segala hal yang jarang dan mungkin tidak pernah dilihat dan dipikirkan oleh orang lain, tetapi berdampak buruk jika berlarut-larut terjadi. Tulisan ini adalah hasil dari beberapa pengalaman saya selama menjadi pengendara sepeda khususnya di Jogja, dan inspirasi dari peristiwa berdialog bersama partner diskusi yang juga ahli dalam menggagas ide, Agus Patub BN.

Belok Kiri secara Mendadak
            Pernah dan bahkan sering saya mengalami hal ini. Ketika hendak sampai pertigaan dengan arah belokan ke kiri, tiba-tiba menyelononglah pengendara motor atau mobil ke depan saya dan mendahului saya. Tindakan ini seringkali membuat saya jengkel dan saya harus “mengelus dada”, sabar karena sangat mengagetkan dan was-was.. Pasalnya, jarak posisi kendaraan dan belokan hanya beberapa meter saja. Kan bisa, menunggu 3-5 detik untuk membiarkan saya sebagai pengendara sepeda untuk melanjutkan perjalanan lebih dulu. Toh saya juga tidak belok ke arah kiri. Kecuali jika saya juga belok ke arah kiri, saya tidak akan bermasalah. Atau bisa juga dengan memberi kode terlebih dahulu, misalnya membunyikan klakson, sehingga pegendara di depannya tahu dan tidak kaget.
            Selain karena mereka (yang menurut saya) kurang sabar, tindakan mereka juga membahayakan banyak orang karena menjadi rawan terjadi kecelakaan. Awalnya mengalami hal ini saya masih cukup shock karena dulu selama saya tinggal di Blitar (tempat kelahiran saya), saya sangat jarang mengalami dan menemukan hal seperti ini.  Baru lah ketika saya di Jogja, pengendara kendaraan belok ke kiri dengan seenaknya tanpa memperhatikan pengendara di sekitarnya. Namun, setelah ke sekian kalinya, akhirnya saya pun semakin memahami. Ketika saya akan sampai belokan ke kiri, maka saya lebih memilih mengalah untuk mendahulukan para pengendara motor dan mobil. Jika tidak, saya memberikan tanda dengan melambaikan tangan kanan saya ke samping kanan. Dengan demikian, saya pun merasa terbantu dalam hal keamanan diri, tetapi saya tetap harus waspada.

Menerobos Lampu “Merah”
            Hal yang saya tahu, Jogja dikenal sebagai kota budaya. Tapi saya tidak tahu mengapa nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di Jogja semakin miris. Saya sering menemui pengendara motor dan (sebagian) mobil menerobos lampu “merah”. Masih kurang 3-5 detik, ee mereka sudah tancap gas. Di perempatan lampu lalu lintas, saya mendapatkan hak posisi ruang tunggu di bagian depan, sehingga saya sering didahului oleh mereka. Saya pun sangat heran. Setelah mencoba berdialog dan mendiskusikannya, Agus Patub BN. menjelaskan bahwa perilaku mereka bisa jadi disebabkan salah satunya oleh pola ke-instan-an. Contohnya, teknologi yang semakin maju; speed modem internet. Saat ini para brand penyedia jasa internet ramai melakukan persaingan dengan memberikan layanan yang terbaik untuk pelanggannya. Dulu speed modem 3,6 Mbps, lalu ditambah lagi dengan speed 7,2 Mbps, dan seterusnya. Semua kita nikmati dengan begitu cepat, sehingga yang lelet semakin kehilangan pelanggan.
            Ada juga jasa laundry yang dulu biasanya 1 hari jadi, lalu 5 jam jadi, dan bahkan sekarang ada yang 1 jam jadi. Bukan tidak mungkin juga bahwa nantinya ada jasa laundry dengan pelayanan 15 menit jadi. Bagi saya ini sangat memprihatinkan. Hal instan semakin membudaya, sehingga mempengaruhi psikologi masyarakat yang salah satunya berdampak pada perilaku berkendara di jejalanan.
            Dulu saya sempat beride agar di perempatan itu tidak perlu disediakan time screen. Karena kurang beberapa detik saja sudah banyak yang menerobos lampu “merah”. Coba jika tidak ada time screen, pengendara hanya akan memperhatikan lampu lalu lintas tiga warna; merah, kuning, hijau. Mereka akan memulai tancap gas ketika lampu “hijau” sudah menyala. Dengan begitu bisa jadi mereka menjadi lebih tertib dalam berlalu lintas.

Bunyi Klakson yang Menggangu
            Mungkin kamu juga sering menemui atau mengalami secara langsung peristiwa ini. Saya sering mengalaminya ketika jejalanan macet atau ketika berada di perempatan lampu lalu lintas. Saking panjang macetnya, pengendara yang berada di bagian belakang sering membunyikan klakson kendaraannya. Kurang sabar dan emosi sekali (menurut saya), padahal jika mereka berada di bagian depan, pasti juga akan mengalami hal yang sama. Tanpa membunyikan klakson pun sebenarnya semua pengendara kendaraan yang berada di bagian depan sudah tahu, karena mereka sama-sama berharap agar lampu hijau” segera menyala dan segera melanjutkan perjalanannya. Mungkin karena perspektif orang yang berbeda-beda sehingga mereka seperti itu (membunyikan klakson). Atau bisa jadi mereka yang membunyikan klakson hanya melihat peristiwa itu dari sudut pandangnya sendiri saja.

Susahnya Menyeberang Jalan
            Melewati jalan searah maupun dua arah memberikan pelajaran tentang kesabaran, kewaspadaan dan keberanian. Seringkali ketika saya mau menyeberang, saya harus menunggu atau mengalah kepada para pengendara motor atau mobil. Hal itu karena kecepatan berkendara mereka terlalu cepat sehingga cukup berbahaya ketika mau menyeberang. Hal yang saya herankan, mengapa mereka tidak terketuk dan terbuka hatinya untuk sabar beberapa detik dan mempersilahkan pengendara sepeda untuk menyeberang (?). Oleh karena itu, saya sendiri juga harus berani ketika menyebarang, caranya: ketika mau menyeberang jalan, saya memberikan kode dengan melambaikan tangan dan tentunya dalam situasi yang sudah lumayan sepi, dirasa aman dan tetap waspada. Dengan demikian, saya tidak harus menghabiskan bermenit-menit untuk menyeberang. Selain dengan keberanian diri sendiri, terkadang saya juga memanfaatkan satpam di tempat tertentu untuk membantu menyeberangkan saya jika jalanan terlalu ramai.

Mengambil Hak Milik Orang Lain
            Di Jogja sudah banyak disediakan fasilitas jalan untuk pengendara sepeda yaitu di pinggir jalan berukuran sekitar satu meter, dan di ruang tunggu lampu lalu lintas. Risih dan mengherankannya, saya sering menemukan peristiwa dimana pengendara motor atau mobil memakai ruang tunggu tersebut. Saya pun terkadang harus mengalah untuk menunggu di belakang para pengendara tersebut dan tidak memakai hak saya. Namun, pernah juga saya blusukan berjalan ke depan sehingga saya bisa menempati ruang tunggu sepeda. Bagi saya ini adalah pengambilan hak milik orang lain secara paksa. Jika hal ini terus dilakukan bisa jadi akan mempengaruhi kehidupan mereka dan kita. Akan semakin banyak orang yang tidak bisa menghargai hak milik orang lain, dan merebut hak milik orang lain. Ini memang masalah dan peristiwa di lingkungan lalu lintas jejalanan, tetapi pelan-pelan psikologi orang tetap saja akan terpengaruh.
            Selain memakai ruang tunggu sepeda, ada juga peristiwa lain yaitu pengendara motor atau mobil memenuhi ruang jalan sehingga pengendara yang hendak belok ke kiri tidak memiliki ruang untuk berjalan. Ini sering terjadi di Jogja, apalagi jika jalanannya sempit. Entah mereka yang kurang memperhatikan tulisan di papan tiang lampu lalu lintas yang terbbaca “ke kiri jalan terus” atau memang hanya memikirkan kebutuhannya sendiri atau mengapa (?). Seharusnya, meskipun belum ada yang akan belok ke kiri, para pengendara yang sedang menunggu di lampu lalu lintas sudah siap menyediakan hak milik pengendara yang akan belok kiri. Namun, sayangnya tidak semua orang berpikiran dan paham dengan hal ini.
Bersambung.


Yogyakarta,
-dwiajengvye-

0 Komentar