Pelajaran Rasa di Jejalanan #1
Mengendarai sepeda sebagai alat bermobile itu menyenangkan bagi yang
menyukainya, termasuk saya. Meskipun dari segi waktu kadang kurang efektif
karena memakan banyak waktu ketika menempuh jarak jauh, tetapi masih ada hal positif
yang bisa diambil. Sebagai pengendara sepeda, saya mendapatkan banyak pelajaran
yang sebelumnya belum saya dapatkan. Mengendarai sepeda memberikan kesempatan
dan waktu lebih banyak untuk saya, untuk melihat, memperhatikan, dan memahami segala
hal yang jarang dan mungkin tidak pernah dilihat dan dipikirkan oleh orang lain,
tetapi berdampak buruk jika berlarut-larut terjadi. Tulisan ini adalah hasil
dari beberapa pengalaman saya selama menjadi pengendara sepeda khususnya di
Jogja, dan inspirasi dari peristiwa berdialog bersama partner
diskusi yang juga ahli dalam menggagas ide, Agus Patub BN.
Belok Kiri secara Mendadak
Pernah dan bahkan sering saya
mengalami hal ini. Ketika hendak sampai pertigaan dengan arah belokan ke kiri,
tiba-tiba menyelononglah pengendara motor atau mobil ke depan saya dan
mendahului saya. Tindakan ini seringkali membuat saya jengkel dan saya harus
“mengelus dada”, sabar karena sangat mengagetkan dan was-was.. Pasalnya, jarak posisi kendaraan dan belokan hanya
beberapa meter saja. Kan
bisa, menunggu 3-5 detik untuk membiarkan saya sebagai pengendara sepeda untuk
melanjutkan perjalanan lebih dulu. Toh saya
juga tidak belok ke arah kiri. Kecuali jika saya juga belok ke arah kiri, saya
tidak akan bermasalah. Atau bisa juga dengan memberi kode terlebih dahulu,
misalnya membunyikan klakson, sehingga pegendara di depannya tahu dan tidak
kaget.
Selain karena mereka (yang menurut
saya) kurang sabar, tindakan mereka juga membahayakan banyak orang karena
menjadi rawan terjadi kecelakaan. Awalnya mengalami hal ini saya masih cukup shock karena dulu selama saya tinggal di
Blitar (tempat kelahiran saya), saya sangat jarang mengalami dan menemukan hal seperti
ini. Baru lah ketika saya di Jogja, pengendara
kendaraan belok ke kiri dengan seenaknya tanpa memperhatikan pengendara di
sekitarnya. Namun, setelah ke sekian kalinya, akhirnya saya pun semakin
memahami. Ketika saya akan sampai belokan ke kiri, maka saya lebih memilih
mengalah untuk mendahulukan para pengendara motor dan mobil. Jika tidak, saya
memberikan tanda dengan melambaikan tangan kanan saya ke samping kanan. Dengan
demikian, saya pun merasa terbantu dalam hal keamanan diri, tetapi saya tetap
harus waspada.
Menerobos Lampu “Merah”
Hal yang saya tahu, Jogja dikenal
sebagai kota
budaya. Tapi saya tidak tahu mengapa nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di
Jogja semakin miris. Saya sering
menemui pengendara motor dan (sebagian) mobil menerobos lampu “merah”. Masih
kurang 3-5 detik, ee mereka sudah
tancap gas. Di perempatan lampu lalu lintas, saya mendapatkan hak posisi ruang
tunggu di bagian depan, sehingga saya sering didahului oleh mereka. Saya pun
sangat heran. Setelah mencoba berdialog dan mendiskusikannya, Agus Patub BN. menjelaskan bahwa perilaku mereka bisa
jadi disebabkan salah satunya oleh pola ke-instan-an. Contohnya, teknologi yang
semakin maju; speed modem internet.
Saat ini para brand penyedia jasa
internet ramai melakukan persaingan dengan memberikan layanan yang terbaik
untuk pelanggannya. Dulu speed modem
3,6 Mbps, lalu ditambah lagi dengan speed
7,2 Mbps, dan seterusnya. Semua kita nikmati dengan begitu cepat, sehingga
yang lelet semakin kehilangan
pelanggan.
Ada juga jasa laundry yang dulu biasanya 1 hari jadi, lalu 5 jam jadi, dan bahkan
sekarang ada yang 1 jam jadi. Bukan tidak mungkin juga bahwa nantinya ada jasa laundry dengan pelayanan 15 menit jadi.
Bagi saya ini sangat memprihatinkan. Hal instan semakin membudaya, sehingga
mempengaruhi psikologi masyarakat yang salah satunya berdampak pada perilaku berkendara
di jejalanan.
Dulu saya sempat beride agar di
perempatan itu tidak perlu disediakan time
screen. Karena kurang beberapa detik saja sudah banyak yang menerobos lampu
“merah”. Coba jika tidak ada time screen,
pengendara hanya akan memperhatikan lampu lalu lintas tiga warna; merah, kuning,
hijau. Mereka akan memulai tancap gas ketika lampu “hijau” sudah menyala.
Dengan begitu bisa jadi mereka menjadi lebih tertib dalam berlalu lintas.
Bunyi Klakson yang Menggangu
Mungkin kamu juga sering menemui
atau mengalami secara langsung peristiwa ini. Saya sering mengalaminya ketika
jejalanan macet atau ketika berada di perempatan lampu lalu lintas. Saking panjang macetnya, pengendara yang
berada di bagian belakang sering membunyikan klakson kendaraannya. Kurang sabar
dan emosi sekali (menurut saya), padahal jika mereka berada di bagian depan, pasti
juga akan mengalami hal yang sama. Tanpa membunyikan klakson pun sebenarnya
semua pengendara kendaraan yang berada di bagian depan sudah tahu, karena
mereka sama-sama berharap agar lampu hijau” segera menyala dan segera
melanjutkan perjalanannya. Mungkin karena perspektif orang yang berbeda-beda
sehingga mereka seperti itu (membunyikan klakson). Atau bisa jadi mereka yang
membunyikan klakson hanya melihat peristiwa itu dari sudut pandangnya sendiri saja.
Susahnya Menyeberang Jalan
Melewati jalan searah maupun dua
arah memberikan pelajaran tentang kesabaran, kewaspadaan dan keberanian.
Seringkali ketika saya mau menyeberang, saya harus menunggu atau mengalah
kepada para pengendara motor atau mobil. Hal itu karena kecepatan berkendara
mereka terlalu cepat sehingga cukup berbahaya ketika mau menyeberang. Hal yang
saya herankan, mengapa mereka tidak terketuk dan terbuka hatinya untuk sabar beberapa
detik dan mempersilahkan pengendara sepeda untuk menyeberang (?). Oleh karena
itu, saya sendiri juga harus berani ketika menyebarang, caranya: ketika mau menyeberang
jalan, saya memberikan kode dengan melambaikan tangan dan tentunya dalam
situasi yang sudah lumayan sepi, dirasa aman dan tetap waspada. Dengan
demikian, saya tidak harus menghabiskan bermenit-menit untuk menyeberang.
Selain dengan keberanian diri sendiri, terkadang saya juga memanfaatkan satpam
di tempat tertentu untuk membantu menyeberangkan saya jika jalanan terlalu
ramai.
Mengambil Hak Milik Orang Lain
Di Jogja sudah banyak disediakan fasilitas
jalan untuk pengendara sepeda yaitu di pinggir jalan berukuran sekitar satu
meter, dan di ruang tunggu lampu lalu lintas. Risih dan mengherankannya, saya sering menemukan peristiwa dimana
pengendara motor atau mobil memakai ruang tunggu tersebut. Saya pun terkadang
harus mengalah untuk menunggu di belakang para pengendara tersebut dan tidak
memakai hak saya. Namun, pernah juga saya blusukan
berjalan ke depan sehingga saya bisa menempati ruang tunggu sepeda. Bagi
saya ini adalah pengambilan hak milik orang lain secara paksa. Jika hal ini
terus dilakukan bisa jadi akan mempengaruhi kehidupan mereka dan kita. Akan semakin
banyak orang yang tidak bisa menghargai hak milik orang lain, dan merebut hak
milik orang lain. Ini memang masalah dan peristiwa di lingkungan lalu lintas
jejalanan, tetapi pelan-pelan psikologi orang tetap saja akan terpengaruh.
Selain memakai ruang tunggu sepeda,
ada juga peristiwa lain yaitu pengendara motor atau mobil memenuhi ruang jalan
sehingga pengendara yang hendak belok ke kiri tidak memiliki ruang untuk
berjalan. Ini sering terjadi di Jogja, apalagi jika jalanannya sempit. Entah
mereka yang kurang memperhatikan tulisan di papan tiang lampu lalu lintas yang
terbbaca “ke kiri jalan terus” atau memang hanya memikirkan kebutuhannya
sendiri atau mengapa (?). Seharusnya, meskipun belum ada yang akan belok ke
kiri, para pengendara yang sedang menunggu di lampu lalu lintas sudah siap
menyediakan hak milik pengendara yang akan belok kiri. Namun, sayangnya tidak
semua orang berpikiran dan paham dengan hal ini.
Bersambung.
Yogyakarta,
-dwiajengvye-
0 Komentar
Give ur coment