(Foto by: Dwi Ajeng Vye, 2013)
Namanya Belinda. Peserta lomba macapat di Pura Pakualaman, Yogyakarta, pada Jumat, 31 Mei 2013. Seorang putri kecil berumur sekitar 6 tahun dan berpakaian adat Jawa lengkap, saat itu. Dalam perlombaan macapat, memakai pakaian adat Jawa lengkap merupakan salah satu poin plus dalam penilaian juri. Pertama melihat si putri kecil itu, rasanya gemes. Langsung saja kuminta untuk berpose untuk kuambil gambarnya, lalu ia pun menyetujui.
Setelah selesai kufoto, ia bergegas pergi ke ruangan lomba untuk persiapan. Saat itu acara perlombaan hampir  segera dimulai, jadi seluruh peserta, orangtua, guru dan pendamping peserta diminta masuk ke ruangan lomba. Setelah persiapan sudah terlaksana, akhirnya acara pun dimulai. Penampilan peserta lomba disesuaikan dengan nomor urutan presensi kehadiran dan bergantian antara peserta putra dan peserta putri. Masing-masing penampilan peserta rata-rata membutuhkan waktu 5-6 menit, sedangkan jumlah peserta putri berjumlah 52 anak dan peserta putra berjumlah 24 anak.

Peserta, baik putra maupun putri, yang belum mendapatkan giliran tampil, menyiapkan diri. Ada yang duduk di ruangan dengan menikmati dan memerhatikan penampilan peserta lain, ada juga yang bercanda bersama teman, orangtua dan gurunya. Mungkin orangtua atau guru sangat mengerti psikis anak ketika mau tampil, sehingga berusaha menghibur diri anak agar tidak merasa tegang. Begitu juga Belinda.

Belinda mendapat urutan nomor 46. Sejak awal hingga pada akhirnya tiba waktunya untuk tampil, ia tetap semangat. Ia setia menunggu di dekat pintu masuk ruang tampil untuk menyambut giliran urutannya datang. Mungkin karena jemu menunggu lama, ia berjalan-jalan di teras ruangan lomba, kadang juga bercakap-cakap dan bermain bersama teman-temannya. Aku dan temanku mengamati dan saling berdiskusi tentang Belinda, karena kami sama-sama kagum karena keluwesannya. Kami juga heran, Belinda yang sangat kecil, teman bermainnya banyaak yang sudah besar. Pikirku, ya itu nilai plus dan positif untuknya, karena ia mampu berteman dengan teman yang lebih tua. Kelak ketika ia sudah besar, ia menjadi orang yang pandai bergaul karena bisa berteman dengan siap saja.
Tak henti-hentinya aku dan temanku memerhatikan si Belinda. Tak lama setelah kami berdiskusi, muncullah seorang Ibu di samping Belinda, yang ternyata adalah Ibu dari Belinda. Si Ibu mengobrol bersama Belinda. Sesekali kali mereka saling memeluk dan tersenyum penuh kasih. Seperti sahabat, si Ibu berusaha menghibur Belinda yang sudah sangat lama menunggu giliran. Dengan gaya bicara lembut, si Ibu berusaha menadi sosok sahabat kecil yang dewasa untuk Belinda.
Pendapat temanku, si Ibu adalah seorang guru. Tak heran jika Belinda, meskipun masih kecil, tetapi ia menjadi sosok anak yang berani dan percaya diri. Mungkin karena sudah terbiasa ikut si Ibu ke sekolah. Si Ibu memang setia menemani dan berada di samping Belinda ketika ia sedang menunggu giliran. Mereka berbincang-bincang seperti sedang membahas sesuatu, mereka saling berpendapat dan menjawab. Ketika Belinda mengucapkan jawabannya, si Ibu dengan penuh kepedulian, mendengarkan dengan sangat perhatian. Terlihat dari mimik dan ekspresi si Ibu yang selalu senyum dan sabar mendengarkan dan memerhatikan Belinda. “Hmm…mereka adalah pemandangan yang indah”, batinku.

Mereka menjadi pemandangan yang memberikanku pelajaran baik dan positif. Pelajaran tentang Ibu dan anak yang saling bersahabat. Ketika hubungan Ibu dan anak bisa diciptakan secara harmonis dan penuh kasih, Ibu adalah sahabat bagi anak, begitu juga sebaliknya. Aku pun menjadi teringat dengan Ibuku, membayangkan pemandangan itu adalah aku dan Ibu. Hmm…juga membayangkan andaikan sewaktu kecil aku juga seperti Belinda. Sayangnya di daerahku tidak pernah ada lomba macapat, bahkan di sekolah dan di lingkungan pun tidak pernah diajari “nembang”, sehingga aku pun juga tidak terlalu tahu-menahu tentang  “nembang”. Baru ketika kuliah aku tahu dan mengerti bentuk dan teknis “nembang”, meskipun aku tidak mahir “nembang”. :D

Kembali ke topik cerita. Banyak peserta yang belum mendapat giliran tampil, mereka latihan macapat di teras. Suara mereka pun terdengar oleh orang lain termasuk aku. Namun, tak begitu dengan Belinda. Ia belajar macapat bersama si Ibu. Seperti sedang berbisik, Belinda pun “nembang” di dekat telinga si Ibu yang wajah si Ibu dan Belinda ditutupi buku, seperti tak ingin ada orang lain yang tahu bahwa ia  sedang belajar macapat. Si Ibu pun dengan senyum dan penuh kasih menuruti permintaan Belinda. Dengan sabar si Ibu mendengarkan Belinda belajar.

(Foto by: Dwi Ajeng Vye, 2013)

Setelah menunggu lama, akhirnya Belinda pun tampil. Ketika ia masuk ke ruangan lomba, mulai naik ke kursi hingga pelaksanaan “nembang” di depan juri, ia pun tak lepas memandangi si Ibu. Yup, aku melihatnya dengan begitu rasa haru. Betapa si Ibu berusaha memberi dukungan untuk Belinda, begitu juga Belinda berusaha meyakinkan dirinya melalui si Ibu. Si Ibu tersenyum memandag Belinda dengan maksud bahwa semua akan baik-baik saja. Banyak orang yang di tempat lomba yang kagum kepada Belinda yang ternyata adalah peserta paling kecil, kelas 1 SD.Ya Tuhan, amazing. :3

(Foto by: Dwi Ajeng Vye, 2013)
Belinda sekecil itu, peserta paling muda, tetapi pintar “nembang”. Suaranya pun bagus, titi nadanya lumayan rapi dan bagus. Gosip dan gosip, ternyata Belinda sebelumnya sudah sering mengikuti perlombaaan macapat. Hmm..pantesan ia sudah sangat lincah dalam bermacapat. Selesai tampil, ia keluar dari ruangan lomba, ia langsung disambut si Ayah, lalu segera si Ayah mencium penuh kasih kepada Belinda. Rupanya si Ayah juga ikut menemani Belinda, dan aku baru mengetahui itu. Para orangtua, guru dan pendamping peserta  pun memberi selamat da applause untuk Belinda, yang ternyata juga kagum atas kemampuannya dalam “nembang”. Kemudian aku langsung mengajaknya untuk berfoto lagi bersamaku dan temanku. Yeyy, rasanya senang. Setelah difoto, Belinda langsung digendong oleh si Ayah dan mereka (Belinda, si Ayah dan si Ibu) meninggalkan lokasi lomba, pulang.

(Foto by: Fajar Widjanarko, 2013)
Pukul 20.00an WIB perlombaan macapat tingkat SD dan SMP sudah selesai. Dengan begitu, pengumuman akan diumukan pada hari itu juga. Setelah menunggu hasil rekapan dan keputusan juri, akhirnya pengumuman pun dibacakan oleh Ketua Panitia acara lomba. Aku dan teman-temanku penasaran, Belinda mendapat juara nomor berapa. Daann… ciaa, Belinda mendapat juara harapan 2 kategori peserta putri. Hmm…akhirnya, ya sudah, setidaknya ia mampu berjuara meskipun ia adalah peserta termuda. Selamat, Adik! :)



Hikmah pelajaran dari acara hari itu:
1.Ibu adalah sabahat penuh kasih untuk anak, begitu juga sebaliknya, jika keduanya mampu membentuk keharmonisasian.
2.Perlu campurtangan Ibu dalam membentuk kepercayaan diri anak.
3.Menjadi Ibu yang lembut dan sabar adalah tantangan.
4.Kangen Ibu.


Yogyakarta, 1 Juni 2013

0 Komentar