“Bulan dan langit saling berkompromi, hingga hujan pun tak lagi datang. Terhentikan. Tergantikan oleh indahnya bulan yang memancar, malam tadi.”

Setelah beberapa hari hujan memberi “rasa” (entahlah, seperti “hujan rindu”), akhirnya malam tadi aku bisa melihat bulan. Bukan bulan purnama sih, tetapi itu cukup memberikan keindahan pemandangan langit malam tadi. Kupikir bulan dan langit sudah berkompromi sejak hujan deras kemarin sore. Hujan deras yang sempat membuat semangatku berkatung-katung. Bagaimana tidak, hujan deras menahanku beberapa jam ketika aku sedang merasakan dan memiliki semangat dan siap pergi ke suatu tempat. “Ya, harus sabar! semangatku sedang diuji.”, batinku.
Namun, pagi ini, ternyata bulan sudah bersembunyi. Ternyata tinggal para bintang yang masih bertahan di langit. Bulan juga bertahan sih, ia hanya sedang tertutup awan, sehingga tak lagi terlihat dan seperti sedang sembunyi. “Tumben pagi ini langit ramai dipenuhi para bintang.”, “Oh, mungkin kemarin mereka juga ikut berkompromi bersama bulan dan langit.” Mungkin. Melihat para bintang itu pun seketika memori terputar di sebuah moment ketika aku sedang mendaki gunung, tidur menghadap langit di puncak gunung, jaman putih abu-abu, beberapa tahun silam. “Pasti sangat amazing jika saat ini aku berada di puncak gunung itu (lagi). Para bintang menjadi semakin terlihat bercahaya terang. Seperti kunang-kunang yang kian mendekat.”, anganku yang kian menyudut pada kepingan moment masa lalu. “Ah, ya sudahlah. Mengapa jadi terbang ke masa lalu? Biarkan kepingan moment itu hanyut. Perlahan…”


Yogyakarta,
-dwiajengvye-

0 Komentar