Budaya Peringatan Hari Isra’ Mi’raj di Sekolahku
Baru
ingat bahwa hari ini, 6 Juni 2013, adalah tanggal merah setelah aku mendapat sms
dari seorang teman tentang informasi tersebut beberapa hari yang lalu. Maklum, semenjak kuliah, apalagi
sekarang sudah tidak ada kelas kuliah, perhatiaan terhadap tanggal merah pun
tak sebanyak ketika masih sekolah. Mungkin bagi sebagian orang lain, tanggal
merah adalah hari yang sangat dinanti, karena pada tanggal tersebut menjadi
hari libur bagi mereka. Tak begitu denganku, karena semester ini tiap hari aku
libur meskipun terkadang ada acara atau kegiatan pada tanggal merah, tapi itu
tidak terlalu bermasalah untukku.
Pada
masa aku masih Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau SD, tanggal merah dalam rangka peringatan
hari besar agama Islam, tidak sepenuhnya menjadikan hari libur bagiku dan
teman-temanku. Termasuk hari Isra’ Mi’raj,
pada hari tersebut selalu dilaksanakan sebuah acara yang bisa dikatakan rutin
dan membudaya tiap tahun. Acara peringatan seperti halnya syukuran yang di
sekolahku atau di daerahku disebut takiran
‘kegiatan bertakir’. Disebut takiran karena ada acara makan bersama
dengan menggunakan takir ‘semacam piring untuk makan yang terbuat dari
daun pisang’ yang selanjutnya diklip dua sisi menggunakan lidi. Seringnya,
masing-masing siswa (kelas I-VI) dimintai tolong untuk membawa nasi takir 2-3 buah dan semua siswa wajib
memakai busana muslim pada acara tersebut. Nasi takir tersebut selanjutnya dikumpulkan ke guru yang saat itu
bertugas menerima dan mengatur nasi takir.
Bisa dikira-kira, jika seluruh siswa di sekolahku bertugas membawa nasi takir sejumlah itu, jumlah keseluruhan
nasi takir yang terkumpul adalah dua atau tiga kali
lipat dari jumlah siswa.
Setelah
semua siswa tiba di sekolah dan mengumpulkan nasi takir, semua siswa ditempatkan di ruang kelas. Karena itu adalah acara
satu sekolah, seluruh siswa ditempatkan menjadi satu tempat, dan seringnya ditempatkan
di ruang kelas yang paling besar. Saat itu, ruang kelas yang paling besar
adalah ruang kelas V dan VI. Masing-masing dari dua kelas itu memiliki pintu
untuk masuk dan keluar ruangan. Namun, di antara kedua ruangan terdapat satu
pintu yang meenghubung keduanya, jadi siswa maupun guru bisa masuk ke ruang kelas
V dari ruang kelas VI dan sebaliknya. Pada hari-hari biasa pintu penghubung itu
dikunci, tetapi pada hari-hari tertentu termasuk pada acara peringatan hari Isra’ Mi’raj pintu dibuka. Semua siswa
duduk lesehan di atas tikar yang sudah disediakan oleh guru dan murid di dalam
ruang kelas, yang seringnya siswa putra dan putri ditempatkan terpisah.
Jika
semua siswa sudah berkumpul, acara dimulai. Seringnya acara Isra’ Mi’raj terdiri atas ceramah,
berdoa bersama, makan bersama, berbagi takir
kepada warga di sekitar sekolah, lalu pulang. Ceramah ini mirip seperti
pengajian. Pengisi ceramah biasanya guru pelajaran Fiqih, Al-qur’an, Aqidah Akhlak, atau ASWAJA (Ahlus Sunnah wal
Jama’ah). Isi ceramah meliputi
sejarah munculnya peristiwa Isra’ Mi’rají
dan hal-hal lainnya yang masih berhubungan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Selesai
ceramah, acara selanjutnya yaitu berdoa bersama. Doa dipimpin oleh guru mata
pelajaran lain (pelajaran agama) atau biasanya sekalian oleh pengisi ceramah. Kegiatan
berdoa ini dilakukan dengan cara agama Islam, karena menyesuaikan dengan
sekolah kami yang ber-rasa Islam. Setelah berdoa, siswa dan guru makan bersama,
tapi tidak semua guru sih. Seringnya para guru makan setelah acara di sekolah
selesai, jadi lebih didahulukan kepada pawa siswa. Guru mengambilkan nasi takir yang selanjutnya disalurkan secara
sambung-menyambung kepada siswa. Aku dan beberapa teman dekatku biasanya
langsung memakan nasi takir di
sekolah, tetapi terkadang membawanya pulang dan dimakan dirumah.
Acara
terakhir yaitu berbagi takir kepada warga di sekitar sekolah. Berbagi nasi takir biasanya dilakukan setelah
penutupan acara dan para siswa dipersilakan pulang, kecuali siswa yang ditunjuk
dan dipilih oleh guru untuk dimintai tolong untuk membantu mengantarkan nasi takir ke rumah warga. Ditunjuk dan
dipilih karena mengantar nasi takir ke
rumah warga butuh sopan santun, tidak asal mengantar. Sopan santun di sini
meliputi tutur kata atau bahasa, biasanya Bahasa Jawa Krama, dan sikap.
Warga
yang mendapat nasi takir ini tidak
dipilih, jadi dibagi secara merata. Maklum, warga sekolah dan warga desa di
sekitar sekolah sudah seperti keluarga. Selain itu, memang lingkungan kami
hubungan persaudaraannya masih begitu dekat. Bahkan hampir semua warga mengenal
warga satu desa yang wilayah desa kami cukup luas. Tapi ya begitu, hubungan
yang terlalu dekat memang tak selamanya baik, dan sebaiknya menurutku memang berhubungannya
(bersosialisasi) yang wajar-wajar saja, karena rawan terjadi konflik, “pemotongan jalan”
dan ikut campur urusan orang lain. Ah ya
sudah, mari kembali ke topik bahasan. Jadi, setelah selesai berbagi nasi takir, acara keseluruhan pun selesai.
Siswa yang membantu mengantarkan nasi takir
dipersilakan pulang, begitu juga dengan guru.
Nah, seperti itu lah cerita pengalamanku tentang peringatan Hari Isra’
Mi’raj yang kurasakan dan kualami selama 6 tahun (kelas I-VI). Seperti apa cerita pengalamanmu?? :)
Yogyakarta, 6 Juni 2013
2 Komentar
ane berkunjung. . .. kalo ada waktu juga silahkan berkunjung ke-blog saya. . . .:D
BalasHapusTerima kasih kakak sudah berkunjung ke sini. Baiklah, aku akan berkunjung ke sana. :D
BalasHapusGive ur coment