“Kriiiiiiiiiiiiinnggg…!!!”
Bunyi alarm jam weker di atas meja kamar kos Gita berdering keras. Namun, nampaknya bunyi alarm tersebut tak mempan untuk membangunkannya.
“Ta! Gita!, udah jam 9 nih, emang kamu nggak kuliah?”, kata Vani berusaha membangunkannya.
“Emh..eng..enggak”, jawab Gita dengan masih mengantuk, lalu tidur lagi. “Astaga, jam 9?! Mampus deh. Sekarang kan ada jadwal latihan tari di Gelanggang.” Kaget Gita sembari lari ke kamar mandi.
“Nah, nah..tu kan, untung aku bangunin.”, teriak Vani menertawakannya.
Gita dan Vani tinggal satu kos. Mereka bersahabat sejak SMP, sampai pada akhirnya sekarang mereka kuliah bersama di Universitas Gadjah Mada, tapi berbeda jurusan. Gita kuliah di jurusan Sastra Nusantara, sedangkan Vani jurusan Ilmu Komunikasi. Selesai mandi, Gita buru-buru berangkat. “Van, berangkat dulu ya, mau latihan nih, daaghh..” pamit Gita sambil mencubit pipi Vania.
“Ugh, dasar. Sana, sana, pergii..” sebel Vania karena pipinya yang cubby sering menjadi korban cubitan tangan Gita.
Sejak SD, Gita memang suka menari. Dia sering menjuarai lomba tari anak-anak. Ketika kuliah pun dia masih ikut UKM tari tradisional di kampusnya. Setelah selesai kuliah, waktu luangnya digunakan untuk belajar menari di kampus. Dia juga sering diundang untuk mengisi acara-acara, baik di fakultasnya sendiri maupun fakultas lain.
***
“Gimana Ta, kesepakatan dengan teman-teman latihan buat festival tari internasionalnya tiap hari apa?”, tanya Mbak Amel, pelatih tari UKMnya.
“Katanya sih tiap hari Sabtu dan Minggu, Mbak.” Jawab Gita.
“Ya udah, semangat ya, ini kesempatan bagus lho buat kalian, bisa go internasioanl.” Kata Mbak Imelda dengan tersenyum.
“Iya, Mbak..makasih ya.”, Gita bersemangat.
Seminggu yang lau Gita dan teman-teman UKMnya mendapat poster dari Mbak Imelda tentang festival tari internasional di Korea. Mereka sangat senang dan semangat untuk mengikuti festival itu. Sejak kecil Gita sudah bercita-cita ingin go internasional. Dia ingin melanjutkan prestasi ibunya. Sewaktu muda, ibu Gita berhasil juara tari tingkat nasional di Jakarta. Gita sangat sayang kepada ibunya. Ibunya selalu menasihati Gita untuk tetap menyukai tari.
Nduk, sapinter-pintere kowe, aja ninggalake nari ya. Uwong saiki, wis jarang sing isa nari, apa maneh bocah wadon. Eman-eman banget nek ora isa nari. Liyane kuwi, budaya Jawa ki sugih lan endah, dadi kudu dilestarekake. Mbesuk yen kowe wis tua, isa kokwarai ning anak putumu”.
Seni budaya Jawa memang kaya. Teman-teman Gita yang ikut di UKM tari juga sangat sedikit. Sekarang dia sangat mensyukuri prestasinya sebagai penari. Gita terus melamun, mengingat nasihat-nasihat ibunya.
“Ta! dicari Tora tuh. Ditungguin di luar.”, suara Rina mengagetkan Gita.
“Oh, udah datang ya. Oke, makasih ya, Rin.” Jawab Gita, lalu bergegas menyudahi latihannya hari ini, dan keluar menemui Tora.
Tora adalah cowoknya Gita. Dia sering menjemput Gita di gelanggang jika latihan tarinya sudah selesai. Mereka sudah pacaran sejak Gita kelas 2 SMA. Namun, kelas Tora 1 tahun lebih tua di atas Gita. Tora sangat sayang pada Gita, begitu juga Gita. Tak heran jika mereka sekarang kuliah di satu universitas, meski jurusannya berbeda. Tora kuliah di jurusan Teknik Nuklir, sekarang semester enam. Orang tua mereka pun merestui hubungan mereka, bahkan mereka sudah direncakan untuk bertunangan.
“Mas Tora, maaf ya lama. Abisnya nggak sms sih kalau udah ada di sini.hehe..” tutur Gita, manja. Lalu duduk di samping Tora.
“Nggak apa-apa kok, pikirku tadi nungguin kamu sampai selesai latihan, jadinya nggak sms kamu. Ya udah, makan yuk, kamu pasti laper kan, abis latihan gitu?”, ajak Tora.
“Makasih ya, Mas. Iya nih, dari pagi belum makan.”, jawab Gita dengan muka lesu.
“Tuh kan..keras kepala lagi. Udah dibilangin makan tepat waktu biar maghnya nggak kambuh.”, nasihat Tora pada Gita.
“Hmm..maaf..abisnya tadi pagi bangunku kesiangan, dan abis mandi langsung berangkat latihan jadinya nggak sempat. Ya udah, yang penting kan sekarang kita mau makan.ya, ya, ya..”, Gita membela diri dan membujuk tersenyum.
“Dasar kamu nih!”,Tora tersenyum sambil memencet hidung Gita, kebiasaan Tora sebagai rasa sayangnya pada Gita. Lalu mereka pergi makan bersama dan pulang.
Keesokan hari, selesai kuliah, Gita bertemu dengan Tora di kantin fakultas Gita. Seperti biasa, meskipun mereka berbeda fakultas, tapi mereka selalu meluangkan waktu untuk makan bersama.
“Mas Tora, mungkin tiga bulan ke depan, kita bakal jarang ketemu.”, tutur Gita sambil melahap siomay kesukaannya.
“Emang kenapa, Git?”, tanya Tora penasaran.
“Bulan September nanti, aku dan teman-teman UKMku mau ikut festival tari internasional di Korea. Jadi, aku tiap hari Sabtu dan Minggu latihan tari di Gelanggang. Nggak apa-apa kan?” Gita serius menjelaskan pada Tora.
“Ow. Nggak apa-apa kok. Terus nari aja ”, jawab Tora, singkat dan dingin.
Tora memang tidak terlalu suka Gita ikut festival itu, karena Gita akan selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk Tora.
***
Sudah dua bulan Gita mempersiapkan untuk festival tarinya, begitu juga waktunya dengan Tora. Mereka jarang bertemu, bahkan hanya satu kali. Setiap kali Tora mengajaknya makan bersama, Gita selalu tidak bisa. Hingga suatu hari, Tora kehabisan kesabaran.
“Tiitt..Tiiitt..Tiitt..”, suara dering handphone Gita berbunyi. AA Tora is calling, begitu tulisan di layar handphone Gita.
“Halo, Mas Tora..ada apa?”, tanya Gita.
“Waktu kamu udah luang belum? Aku ingin ketemu sama kamu.”, jawab Tora di telepon dengan nada tinggi. Gita kaget ketika mendengar jawaban Tora yang tidak seperti biasanya. Seperti marah, batin Gita.
“Ya..ya udah, ketemu di kosku aja ya, Mas..”, usul Gita dengan pelan.
“Iya. Aku ke situ jam tiga sore.”, singkat Tora.
“Tutt..tutt..tutt..”, tiba-tiba saluran teleponnya terputus. Ada apa dengan Mas Tora. Gita bingung dan bertanya-tanya dengan dirinya sendiri.
Tepat jam tiga, Tora datang ke kos Gita. Mereka duduk di teras depan. Suasana terasa canggung. Mungkin karena sudah dua bulanmereka tidak bertemu.
“Ta, aku pengin kita putus.”, suara Tora terdengar berat.
“Apa? Kenapa, Mas?!”, Gita kaget.
“Aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Makanya aku tuh nggak suka kamu ikut festival tari. Kamu terlalu sibuk dengan urusan kamu, sampai nggak ada waktu sedikit pun buat aku.”
Gita memotong penjelasan Tora, “Tapi Mas, latihanku kan tinggal satu bulan lagi, baru Gita ke Korea 1 minggu. Abis itu kan waktu Gita normal lagi kayak dulu.”
“Maaf, aku nggak bisa, Ta.” Jawab Tora singkat. Lalu Tora pulang dan meninggalkan Gita yang menitikkan air mata di teras.
Hati Gita terasa sakit, wajahnya seperti ditampar. Tora yang selama ini disayanginya, meminggalkannya begitu saja. Satu bulan menuju festival, Gita merasa kurang bersemangat. Namun, setelah dia mengingat akan cita-cita dan nasihat Ibunya, dia mencoba untuk semangat lagi.
Tepat tanggal 23 September, bertepatan dengan ulang tahun Tora, Gita berangkat ke Korea. Sebelum ia berangkat, dia menitipkan bingkisan kecil ke Vani.
“Van, aku nitip ini ya. Tolong kasihkan ke Mas Tora. Semoga dia mau menerimanya.”, kata Gita dengan mata berkaca-kaca.
“Gita..jangan nangis donk, jangan sedih gini. Katanya pengin go internasional. Masalah Mas Tora, biar aku yang atasin. Oke.”, hibur Vani sambil memeluk Gita.
“Makasih ya, Van. Kamu memang sahabat terbaikku.”, senyum Gita sembari mengusap air matanya.
“Iya, sama-sama. Ya udah buruan berangkat, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati ya, jaga diri baik-baik.”, Vani tersenyum. Kemudian Gita berangkat ke bandara Adi Sucipto bersama teman-teman UKMnya.
***
Setelah keberangkatan Gita, Vani langsung menghubungi Tora dan mengajak bertemu. Sorenya, Tora datang ke kos Vani. Mereka bertemu di teras depan kos. Vani memberikan bingkisan kecil ke Tora, “Nih, Mas, ada titipan dari Gita. Tadi pagi sebelum berangkat dia nitipin ini ke Vani buat dikasihkan Mas Tora.”
“Dia baik-baik aja kan, Van?”, Tora khawatir.
“Baik kok. Tenang aja. Dia sayang banget sama Mas Tora. Tapi, misal Mas Tora tetap kekeh buat ninggalin dia, itu hak Mas Tora. Saran Vani, mas Tora jangan egois. Tolong ngertiin Gita. Udah sejak kecil dia bercita-cita bisa go internasional, dan sekarang lah kesempatan buat Gita. Gita kayak gitu juga demi ibunya. Gita pengin melanjutkan prestasi ibunya.”, Vani berusaha menjelaskan pada Tora. Namun, Tora hanya diam, tak menjawab penjelasan Vani. Lalu Tora pulang.
Setiba di kosnya, Tora membuka bingkisan kecil berwarna hijau dengan motif pohon, sama seperti warna kesukaan Tora. Sebuah jam tangan motif bambu, warna coklat, berbentuk lingkaran. Ada surat kecil di bawah jam tangan itu. Tora mengambilnya dan membacanya.
Yogyakarta, 23 September 2010
Dear, separuh jiwaku
Kata-kata yang terlantun takkan pernah ternilai tanpa ketulusan hati untuk mendengarkan..
Nyanyian yang terdendang takkan indah tanpa ketulusan jiwa untuk meresapi..
Begitu juga..
Separuh jiwa takkan bahagia tanpa kebahagiaan separuh jiwanya..
“Selamat Ulang Tahun, Tora”
Maafkan aku tak bisa hadir di hari bahagiamu..
Namun doaku, semoga engkau tetap bahagia tanpa kehadiranku..
Tersenyumlah atas kebahagiaanmu..
Agar bunga-bunga yang kau sebar tetap semerbak di penghirupan orang-orang di sekitarmu..
Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun, Tora..
Semoga engkau bahagia..
Yang slalu menyayangimu,
(Gita)

Air mata Tora perlahan jatuh. Rasa penyesalan singgah dalam dirinya. Sebenarnya hatinya tak pernah terganti. Rasa yang sejak SMA tertanam di hatinya, tetap tumbuh untuk Gita. Namun, keputusannya untuk meninggalkan Gita, hanya demi keegoisannya pada Gita. Jika hatinya tak pernah terganti, masihkah Gita membukakakn pintu maaf untuknya. Tora meratapi sesalnya.
Di Korea, Gita bersemangat untuk tampil di festival tari internasional yang beberapa menit lagi dimulai. Acaranya pun sangat megah, berbeda dengan acara-acara yang pernah ada di Indonesia. Festival itu diikuti oleh 10 negara. Setelah seluruh kelompok tampil, pengumumannya pun dibacakan.
The best dancer of The International Dance festival is from……….Gadjah Mada University.”
Gita gugup, jantungnya sejenak berhenti, merasa tak percaya dengan yang didengarnya. Mungkinkah ini mimpi?. Dia menepuk pipinya. Ternyata benar-benar nyata. Hatinya sangat bahagia, karena akhirnya cita-citanya tercapai.
“Terimakasih, Ya Allah. Ibu, Gita akan pulang membawa kebahagiaan untukmu.”, kata Gita dalam hati.
Sepulang dari Korea, Gita langsung istirahat di kamar kosnya hingga hari petang. Tidurnya sangat pulas, mungkin karena kecapekan, sampai tak sempat mandi sore.
“Gita! Ta..bangun, udah malam. Beli makan yuk, sekalian makan bareng di luar.”, ajak Vani.
“Homm..aku belum mandi Van, males keluar.”, Gita melanjutkan tidurnya.
“Aahh..ayo bangun. Pokoknya sekarang cuci muka, dua menit, terus kita keluar beli makan. Titik.”, paksa Vani sambil menarik Gita masuk ke kamar mandi. Vani senang karena rencananya untuk mempertemukan Gita dan Tora akan berhasil. Namun, Gita tak mengetahuinya.
“Udah siap, ayuk, makan.”, wajah Gita tiba-tiba cerah, pengaruh cuci muka.
Gita berjalan di dapan Vani, lalu keluar. Ketika membuka pintu kos, tiba-tiba..
”Selamat datang di Jogja..”, suara merdu Tora sambil membawa kue dengan lilin-lilin yang menyala mengejutkan Gita. Gita pun gugup dan tetap berdiri di tengah pintu kosnya, “Mas..Tora.”
“Iya, ini aku, Gita”, jawabnya tersenyum. “Selamat ya, Ta, atas prestasinya kemarin. Aku ikut senang mendengarnya.”, tambah Tora. Gita tetap terdiam, mencoba menyadarkan diri bahwa yang ada di hadapannya adalah separuh jiwanya, Tora.
“Aku minta maaf ya Ta, udah egois sama kamu, nggak mau ngertiin kamu. Aku baru sadar, bahwa aku tak bisa menjalani hidupku tanpa separuh jiwaku. Tapi sekarang, aku benar-benar menemukan separuh jiwaku lagi, dan dia ada di hadapanku. Maafkan aku, Ta”, jelas Tora langsung memeluk Gita. Tak bisa tertahan, air mata Gita pun terjatuh.
“Gita takut. Jangan tinggalin Gita lagi..”, suara Gita semakin serak dan tersengal karena menahan tangisnya.
“He’em, aku nggak akan biarin kamu sendiri dan sedih lagi.”, jawab Tora dengan memeluknya lebih erat.
***

0 Komentar