Siang itu terasa menyengat, seakan matahari emosi mengeluarkan amarahnya. Suara gemuruh motor, riuh canda dan kernet yang sedang menawarkan angkutannya, menandakan jam sekolahku sudah pulang. Aku pun mempercepat laju kakiku sambil menutupkan ujung jilbabku ke setengah wajahku karena tak tahan dengan panasnya matahari. Setiap musim panas, itu lah kebiasaanku, selalu ingin cepat pulang ke kost. Sekolahku memang bukan sekolah Islam seperti Madrasah Aliyah yang diwajibkan berjilbab bagi murid putri, tetapi aku memutuskan untuk memakai jilbab sejak kelas X semester 2. Sebelum daftar dan diterima di SMAN 1 Talun, aku memang sudah merencanakan untuk kost meskipun letak sekolahku hanya berbeda kecamatan dengan rumahku.

Keesokan hari, ketika jam istirahat aku bertemu dengan Titha, teman satu ekskul Pecinta Alam (PA) Satya Bhawana yang nampak semangat menemuiku. “Rhei, nanti abis pulang sekolah ikut re-organisasi ya! Di kelas XIA1. Sekalian kita kumpul.”, kata Titha sambil menepuk punggung kiriku.

"Iya, pasti Tha.”, jawabku dengan senyuman. Beberapa menit asyik mengobrol dengan Titha, bel sekolah pun berbunyi, tanda masuk kelas. “Yach, kok udah masuk sih. Ya udah sampai ketemu nanti ya Rhei.”, pamit Titha sembari bergegas pergi.

“Okey..see you, Tha.”, jawabku sok bahasa Inggris.

Rasanya malas ikut pelajaran terakhir ini. Ingin cepat bel pulang, ughh. Tidak sabar dan penasaran, kira-kira siapa yang nanti jadi ketua Satya Bhawana yang baru. Jangan-jangan mas Freza. Ahh, masak jadi ketua cuek kaya gitu, gimana nanti nasib anggotanya, pasti ditelantarkan. Masih mending mas Galang, baik dan ramah sama adik-adik kelasnya, tapi nggak tahu juga, angkatan di atasku kan banyak. Sambil mendengarkan ceramah Pak Dedi di kelas, aku terus sibuk bergumam dalam hati sampai tidak sadar bel pulang sudah berbunyi.

***

Aku berjalan menuju kelas XIA1, ternyata sudah banyak yang datang, dan aku termasuk yang datang paling akhir. Re-organisasi dimulai dengan pemilihan ketua Satya Bhawana. Setelah melalui proses secara langsung, akhirnya ketua pun terpilih. Ternyata dugaanku meleset jauh dari yang kuharapkan. Benar, mas Freza terpilih menjadi ketua. Batinku, ya sudah lah memang suara terbanyaknya adalah mas Freza, mau gimana lagi.

Aku memang tidak begitu kenal dekat dengan mas Freza. Meskipun aku sudah satu tahun menjadi anggota Satya Bhawana, komunikasiku dengannya pun bisa dihitung dengan jari. Sangat jarang. Jurusannya sama denganku, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), namun berbeda satu tahun lebih tua di atasku, kelas XII. Dulu waktu awal masuk Satya Bhawana, aku pernah mengajaknya berbicara, tanya tentang keorganisasiannya, tetapi setiap jawaban dari pertanyaan yang kutanyakan selalu singkat dan gaya bicaranya ceplas-ceplos. Pantas saja dia terkenal sangat cuek di mata teman-temannya. Namun, ada juga yang bilang dia baik, setia kawan, dan gentle man. Ah masa bodoh, pikirku.

Suasana di kost diramaikan oleh suara teman-teman yang sedang nonton tv. Rasanya sumpek banget. Hari ini suasana hatiku memang sedang buruk.

“Heyy!!”, suara keras mengagetkanku.

“Ah, mbak Key, kirain siapa, ngagetin aja!!”, gerutuku dengan manyun.

“Ihhirr..Kenapa sih Rhei..sorry deh, abisnya tak perhatiin dari tadi kamu duduk sendiri, manyun terus.”, jawab mbak Key sembari duduk di kursi sampingku. Mbak Key, dia kakak kelasku yang juga satu kost denganku. Hubunganku dengan dia sangat dekat, teman curhat, bahkan sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.

“Aku bete mbak..sebel dan pengen mencakar-cakar orang.”, jawabku masih manyun.

“Hii..kok ngeri sih Rhei. Bete kenapa? Sini-sini..cerita sama Mbak.”, ajaknya sambil menarikku dekat ke kursinya. “Aku sebel sama temennya mbak tu, si Freza, manusia paling cuek di dunia, huugghh..”. “Emang kenapa denga Freza?”, tanyanya penasaran.

“Tadi, waktu jam istirahat di kantin sekolah, nggak sengaja ketemu dia. Niatku kan baik menyapa dia dan mengajak ngobrol dia. Pikirku sih basa-basi aja tanya tentang agenda Satya Bhawana yang terdekat apa aja. Ehhh..dianya jawabnya dingin banget. Aku kan jadi sebel, Mbak.”, aduku.

“Hemm..kirain masalah serius. Yachh, maklumlah Rhei, dia kan emang gitu anaknya, dingin dan cuek abis. Jadi ya nggak usah diambil hati.”, bujuknya berusaha menenangkanku.

“Iya sih, sebenarnya nggak salah juga. Tapi aku tetap sebel mbak. Atau mungkin aku aja yang sensitif”. “Huu..tu kan. Ya udah ta nggak usah terlalu dipikir. Dia sebenarnya baik kok, ya mungkin kamu juga yang belum kenal dekat sama dia.”, jawabnya dengan senyum. Amit-amit deh kenal dekat sama dia, orang kaya gitu, bikin hati miris aja, batinku.

***

Satu bulan lagi Satya Bhawana mengadakan pendakian ke Gunung Wilis, tepat liburan semester. Ingin sekali aku ikut ke sana, tapi aku paling males bertemu dengan Mas Freza, membuat moodku semakin buruk. Aku berusaha menanamkan dia menjadi orang baik di otakku, tapi tetap saja kesal dengan sikapnya. “Kenapa sih dia tetap mengganggu pikiranku. Udah bikin nggak enak hati, masih aja muncul di otak. Dasar manusia aneh, aneh, dan aneh.”, gerutuku dalam hati.

Usai pulang sekolah aku pergi ke basecamp Satya Bhawana. Sepi sekali, tumben nggak ada yang ke sini, kataku dalam hati. Di basecamp banyak album foto dokumentasi kegiatan mulai yang “jadul” sampai yang terbaru. Bendera Satya Bhawana yaang sangat lebar terpasang di dinding sebagai background ruangan depan. Ruangannya memang tidak terlalu besar, tetapi semua barang-barangnya tertata rapi. Di sekolahku banyak ekskul sehingga pihak sekolah pun harus membagi ruangan dengan ekskul yang lain. Ketika aku sibuk membuka dan melihat album foto, tiba-tiba terdengar suara nyanyian mengalihkan perhatianku.

“..Andaikan kudapat mengungkapkan..perasaanku..hingga membuat kau percaya..”.

Suara cowok. Kok seperti pernah dengar suaranya. Tanyaku dalam hati sambil mengerutkan dahi. Aku memang sangat menyukai lagu itu sejak dulu, tapi aku tetap melanjutkan melihat album foto.

“Eh, ada dik Rhei..”, suara cowok mengagetkanku.

“eh..Mas..Freza??!!”, tanyaku penuh keheranan dan sedikit gugup. Hah, berarti yang nyanyi tadi Mas Freza. Heran, kaget, aneh, orang sedingin dan secuek itu bisa nyanyi lagu romantis, hehehe, tawaku dalam hati.

“Nggak ada acara ya dik, kok tumben, biasanya nggak kelihatan di basecamp?”, tanyanya lembut.

“Iya nih, lagi merefresh pikiran, tadi baru ulangan.”, jawabku sok ikutan lembut. Dalam hati aku bertanya-tanya tidak karuan, dia, Mas Freza yang kemarin dingin kaya es itu bukan sih, kok jadi beda banget.

“Dik, ikut jajan yuk, teman-teman pada sepi nih, males ke kantin sendiri.”, ajaknya.

What??pikiranku kacau bercampuraduk mendengar kata-katanya. Ya Allah, ini mimpi atau nyata sih. Bangun Rhei, bangun!!.

“Dik Rhei??”, tanyanya lagi menyadarkanku dari lamunan.

“Emm, iya, boleh..”, jawabku tenang.

Aku merasa aneh ketika dia duduk di sampingku di kantin. Kami makan soto, yang ternyata sama-sama menjadi menu favorit. Kami mengobrol lama sampai senja pun datang. Untung saja kantin di sekolahku buka sampai malam. Lalu kami pulang.

Sejak saat itu, hubunganku dengan Mas Freza pun semakin baik dan dekat. Kami sering ketemu di basecamp, ngobrol bareng, sharing bareng, curhat, lama-lama sikapnya pun tidak sedingin dan secuek yang dulu. Dalam hatiku, ternyata Mas Freza nggak seperti yang kupikir selama ini. Dia benar-benar baik dan menengkanku. Rasaku semakin nyaman ketika bersamanya. Entah virus apa yang yang telah merasukiku hingga mengubah pikiran burukku terhadapnya.

“Mas, kenapa sih Mas Freza itu cuek dan dingin banget. Maaf ya, jujur aku kemarin-kemarin sempat sebel banget sama mas.hehe”, tanyaku dengan nada lugu.

“Iya kah? Ah, mungkin itu hanya perasaan kamu aja dik..”, jawabnya menggoda.

“Beneran kok. Ya udah deh, mungkin Cuma perasaanku aja. Oh iya, kemarin aku nggak sengaja dengar Mas Freza nyanyi lho. Kaya lagi patah hati aja.hehe”, ucapku mengalah dan tawa kecil.

“Ohh, itu..nggak apa-apa kok, cuma suka aja sama lagu itu,” jawabnya lembut.

Tiba-tiba sesuatu pun berubah. Jauh di tatapan Mas Freza seperti menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang sangat menyakitinya. Namun, apa? Aku tak tahu. Aku semakin ingin tahu kenapa setelah obrolan kami tadi, sikap Mas Freza padaku jadi berubah.

Aku berangkat ke sekolah pagi ini dengan buru-buru. Bangun kesiangan karena melembur dengan tugas-tugas. Masuk ke gerbang depan, ternyata Mas Freza juga telat. Dia melihatku, namun dia tak menatap bahkan seperti tak mengenaliku. Keherananku semakin memenuhi pikiranku. Semenjak obrolan kami terakhir kemarin, Mas Freza berubah 180 derajat. Dia tak lagi menyapa ketika bertemu denganku, tak seperti biasanya, dan sangat berbeda. Hari-hari berikutnya pun begitu adanya.

Sore ini benar-benar cerah. Senja menampakkan keindahannya. Langit terang dan menyejukkan. Aku menatap senja kosong. Gimana keadaan Mas Freza? Udah lama aku nggak lihat dia. Dia seperti menghilang dari duniaku. Seperti ada yang hilang. Tapi, apa urusanku, kenapa terus memikirkannya. Apa aku menyayanginya? Ah nggak mungkin, masak aku termakan omonganku sendiri. Pikiranku semakin ribut. Rasa penasaran bercampur bingung atas menghilangnya dia dari kehidupanku. Tiba-tiba suara dering handphone berbunyi, menghentikan lamunanku.

Sebuah pesan pendek dari Mas Freza, ”Rhei, besok pulang sekolah kita ketemu di taman, ya. Maksih.”. Mas freza mengajak ketemu, di taman? Kenapa tiba-tiba begitu. Ah dasar anak aneh, pergi dengan tiba-tiba, muncul lagi juga tiba-tiba.

Setelah bel, aku berjalan menuju taman, seperti yang dikatakan Mas Freza di sms-nya kemarin. Dia ternyata sudah tiba lebih awal, duduk di kursi taman sambil memencet-mencet handphonenya.

“Maaf ya Mas, terlambat.” Kataku pelan.

“Nggak apa, duduk gih.”, jawabnya singkat.

“Sebelumnya aku minta maaf ya Rhei, udah bikin kamu bingung dan cemas. Aku udah dikasih tau si Key tentang kamu. Aku nggak marah sama kamu.”, katanya rinci.

“Terus? Kenapa Mas Freza tiba-tiba menjauhiku, menghilang tanpa kabar, bahkan aku pun seperti orang yang tidak kamu kenal, mas?”, jawabku tercengang menatapnya..

“Jujur, aku takut Rhei. Sejak kenal kamu, aku selalu teringat sama cewek yang pernah hadir dan berarti banget dalam hidupku. Namanya Vya, aku sayang banget sama dia. Kita udah pacaran sejak kelas 3 SMP. Kita udah punya rencana bertunangan setelah lulus SMA, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Waktu kelas XI semester 2 dia meninggal karena sakit jantung”. Apa?? Kagetku bercampur tidak percaya. Tak pernah menyangka mas Freza pernah memiliki cewek dan sesayang itu padanya. “Terus?”, tanyaku.

“Maafin aku kalau akhir-akhir ini menghindar dari kamu. Aku emang sengaja menjauh. Hatiku sakit Rhei ketika ingat cewekku. Memang salah, tapi aku merasa trauma deket sama cewek. Makanya semenjak Vya meninggal, aku jadi cuek dan dingin sama cewek.”

“Tapi sampai kapan Mas Freza kaya gitu. Mas Freza harus ikhlas menerima takdir Tuhan. Rhei yakin Tuhan akan memberi pelangi di hidup Mas Freza, nanti.”, jawabku mencoba membuatnya tenang.

“Aku nggak tau Rhei.”, jawabnya singkat.

Sejak pertemuanku dengan mas Freza di taman waktu lalu, hubungan kami pun menjadi renggang. Kami hanya bertemu ketika kumpul Satya Bhawana saja, itu pun dia juga jarang ikut karena konsen dengan UAN dan masuk Pergurun Tinggi Negeri. Namun, aku masih merasa sakit setelah mendengar cerita mas Freza. Rasanya seperti tak rela dia tersiksa seperti itu. Aku bisa merasakan apa yang Mas Freza rasakan, tapi apa? sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdoa semoga aku bisa menjadi pelangi untukknya, nanti. Amin.

***

0 Komentar